Bagaimana gamelan merespons zaman, tanpa kehilangan jati dirinya sebagai ekspresi budaya yang hidup? Pertanyaan ini menjadi benang merah dalam Masterclass Mi-Reng: New Music for Gamelan yang digelar di Ketewel, Gianyar. Melalui program ini, Mi-Reng membuka ruang pertemuan antara tradisi dan inovasi, antara pelaras gamelan dan gitaris klasik, antara akar budaya dan pencarian ekspresi baru.
Sesi masterclass Mi-Reng pada tanggal 2 dan 5 April 2025 menghadapkan peserta pada dua kutub penting dalam dinamika musik gamelan kontemporer: gagasan pelarasan dan estetika musikal dari Dr. I Made Kartawan, serta eksplorasi mikrotonalitas lintas medium oleh Septian Dwi Cahyo dan Putu Lia Veranika.
Kartawan dan Akar Pelarasan Gamelan
Masterclass pertama dibuka oleh Dr. I Made Kartawan, etnomusikolog, komposer, dan penyelaras gamelan yang telah berkelana dari Denpasar hingga Kanada dan Selandia Baru. Kartawan meraih gelar Master bidang Etnomusikologi di University of British Columbia, Canada tahun 2014, dan Doktor bidang Etnomusikologi di University of Canterbury, New Zealand tahun 2022. Ia memperoleh beasiswa untuk studi tuning piano di Kunitachi Music Academy, Jepang (2010), beasiswa BUDI (2012), LPDP (2016), UC Doctor Scholarship (2019), Langdong Music Scholarship (2019), dan Malcom Tait Music Education Scholarship (2019, 2020, 2021, 2022). Menerbitkan sejumlah artikel di jurnal nasional dan internasional dan sejumlah buku referensi.
Di hadapan peserta dari berbagai kalangan, Kartawan menggarisbawahi pentingnya pelarasan dalam identitas gamelan Bali. Ia membedah empat konsep dasar pelarasan—Ulu Suara, Sruti, Angkep-angkepan, dan Ombak—sebagai pondasi bukan hanya musikal, tetapi juga filosofis.
Baginya, eksplorasi laras adalah niscaya. Karena tak adanya standar baku dalam sistem nada gamelan Bali, pengembangan bunyi bisa berlangsung bebas, namun tetap berakar. Tantangannya adalah menjaga keseimbangan: mempertahankan kekhasan tradisi sembari membuka ruang inovasi. “Perlu ada wadah nonformal di luar institusi, bagi para musisi muda yang ingin menjajal bentuk baru dari gamelan,” ujarnya.
Kartawan juga menyebut para pelopor pembaruan seperti Wayan Gde Yudane, Dewa Alit, hingga seniman luar seperti Colin McPhee dan Michael Tenzer, sebagai contoh konkret dari geliat hibridisasi gamelan dengan dunia global.
Ketika Gamelan Bersua Gitar Klasik
Sesi kedua masterclass membawa peserta ke wilayah yang lebih eksperimental. Septian Dwi Cahyo—komponis yang telah mencicipi panggung internasional dari Meksiko hingga Wina—mengupas mikrotonalitas dalam gamelan dan musik dunia. Dalam paparan kritis sekaligus reflektif, Septian menyambungkan sejarah panjang mikrotonalitas dari Vicentino hingga ke gamelan yang secara alami tak tunduk pada sistem equal temperament.
Septian Dwi Cahyo, belajar komposisi dengan Beat Furrer di University of Music and Performing Arts Graz. Karyanya telah dipentaskan di Asia Tenggara, Eropa, AS, Asia Timur, dan Meksiko oleh ansambel seperti Orkest de Ereprijs, Talea Ensemble, Spółdzielnia Muzyczna, dan Studio Musikfabrik x ASEAN Youth Ensemble.Ia menerima ASEA Uninet SP24 dan Ernst Mach Grants (2018–2019) untuk studi di Kunst Universität Graz dan IEM Graz. Babel Scores menerbitkan karyanya. Ia telah diundang untuk memberi presentasi di IEEE Region 10 SYWL Congress, Korea Electroacoustic Music Society, dan Salihara. Pada 2021, ia mengkurasi Beyond Threshold – New Voices from Indonesia di Bangkok. Pada 2023, ia menerima Arbeitstipendium für Musikkomposition dari the Austrian Federal Ministry of Arts, Culture, Civil Service, and Sport.
Septian mengatakan, mikrotonalitas dalam musik telah menjadi ranah eksplorasi yang membuka kemungkinan baru dalam musik. Hal ini bisa dilihat dengan bagaimana para komponis mengeksplorasi interval-interval mikro di dalam karya mereka untuk merealisasikan ide-ide musikal mereka.
Sedangkan dalam gamelan, sebagai contoh, pelarasannya yang tidak berbasis equa temprament secara alami memiliki karakteristik mikrotonal. Potensi ini kemudian diekplorasi lebih lanjut oleh para komponis seperti memanfaatkan overtone series dari instrumen gamelan, memadukan dan memodifikasi laras pelog dan slendro, hingga merobak pelarasan gamelan pada gamelan baru yang mereka buat.
Microtonality dalam musik telah menjadi ranah eksplorasi yang membuka kemungkinan baru dalam harmoni, warna suara, dan ekspresi musikal. Eksplorasi ini menemukan puncaknya dalam bahasan Gongan, karya gitaris klasik asal Amerika, William Kanengiser. Di tangan Kanengiser dan Los Angeles Guitar Quartet, empat gitar klasik diubah menjadi orkestra mini gamelan lewat teknik prepared guitar: senar-senar dijepit klip dasi, busa, dan potongan logam, menghasilkan timbre metalik khas Bali.
Gongan adalah Rasa Bali, Aroma Amerika. Komposisi ini meniru teknik imbal-imbalan, kotekan, bahkan struktur pembuka ala gaya Kebyar. Namun, landasan strukturalnya tetap Barat, menunjukkan pertemuan dua dunia: spontanitas sosial gamelan dan ketelitian konseptual komposisi Eropa.
Mi-Reng Festival tahun ini tak hanya menyajikan kelas demi kelas. Ia menyusun mozaik: dari fondasi pelarasan, sejarah musikal, hingga benturan ide dalam praksis kreatif. Festival ini tak lain adalah ruang temu antara masa lalu yang hidup dan masa depan yang belum selesai.
Sebagaimana analogi Septian: “Dulu kita pakai Nokia, sekarang Smartphone. Beda zaman, beda eksplorasi.” Dan Mi-Reng hadir justru untuk merayakan perbedaan itu—sebagai festival yang tak hanya menjaga bunyi, tetapi juga menciptakan bunyi baru untuk didengar dunia.
Putu Lia Veranika, gitaris klasik muda asal Yogyakarta, melengkapi sesi ini dengan konteks sejarah musik Barat dari Renaisans hingga era Modern. Ia menunjukkan bagaimana musik Barat pun telah lama bereksperimen dengan mikrotonalitas, bahkan sejak Alois Haba dan Ivan Wyschnegradsky. Dalam era Modern, eksplorasi bunyi meluas hingga penggunaan suara angin, kereta, hingga elektronik.Gitar, sebagai instrumen klasik, tak luput dari pembaruan teknik: dari muted sounds hingga extended techniques. Lia menyebut La Espiral Eterna karya Leo Brouwer sebagai contoh simfoni avant-garde yang tetap menjaga akar Afro-Kuba. Ia menutup dengan refleksi: “Karya mikrotonal bukan semata eksperimentasi bunyi, melainkan juga dialog lintas identitas, sejarah, dan budaya.”
Program ini idukung oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) melalui Program Pemanfaatan Hasil Kelola Dana Abadi Kebudayaan, festival ini bertujuan menjadi ruang dialog dan penciptaan lintas generasi serta lintas tradisi. Adapun masterclass ini juga berkolaborasi dengan Bentara Budaya Bali. (ID/WW)