Oleh: Warih Wisatsana*)
Sumber foto: dokumentasi seniman |
Masyarakat Bali meyakini keberadaan bhuwana alit (mikrokosmos) serta bhuwana agung (makrokosmos), tidak sedikit pelukis dan perupanya, baik tradisi maupun modern, mengekspresikan pandangan (local wisdom) itu dalam aneka bentuk berciri mistis, simbolis, surealis, hingga wujud rupa kontemporer yang tak terbayangkan. Pendeknya, dinamika kesenirupaan tersebut turut mencerminkan transformasi kultural pulau ini. Melalui pameran tunggalnya Mata Kosmis Wirantawan (Wirantawan’s Cosmic EYE) di Bentara Budaya Bali, 31 Januari hingga 9 Februari 2013, Putu Wirantawan bukan hanya mewarisi capaian puncak para pendahulu, melainkan meraih pula keotentikan karyanya sebagaimana didamba banyak seniman.
Pameran Wirantawan di Bentara Budaya Bali (Dok. Ist) |
Terhampar 14 karya terpilih (2008-2012), sebentuk ritus garis yang hanya mungkin terjelma berkat ketekunan dan intensitas penciptaan yang tinggi. Sebuah proses meditatif, di mana imajinasi-imajinasi liar—merefleksikan ragam visual alam batin khas Wirantawan—saling menyatu dalam pola bentuk yang terstruktur padu.
Salah satu karyanya yang fenomenal, Tebaran Energi Sejati terdiri sembilan panel masing-masing 140 cm x 291,5 cm, dikerjakan tak putus selama 4 tahun (2008-2012) melalui tahapan ribuan sketsa. Dipandang secara keseluruhan (1260 x 291,5 cm) karya ini merupakan gambaran alam raya (bhuwana agung) dengan benda-benda angkasa tak ternama, tersusun dari ribuan garis yang berlapis tebal tipis; remang membayang hingga terang, menorehkan segugusan cahaya yang terkesan mistis.
Keseluruhan ruang dipenuhi oleh bentuk-bentuk imajiner (bhuwana alit), sebagian mengingatkan kita pada mandala, bulatan mistis simbolis yang biasa ditemukan sebagai ikonik suci di Tibet; sebagian lain aneka rupa yang terbilang asosiatif-sugestif.
Transformative-Interpretative
Ditilik capaian teknik dan stilistiknya, bahasa rupa Wirantawan bukan semata berhasil mewujudkan filosofi Bali yang mengagungkan keharmonian, melainkan mencerminkan pula upayanya dalam mempertautkan estetik tradisi dan modern. Di dalam tradisi seni rupa pra kolonial Bali, kehadiran garis adalah hal yang esensial, umumnya berlapis-lapis dan sangat padat, mengisi ruang kanvas secara penuh.
Garis-garis itu pun berfungsi menyempurnakan sosok-sosok yang diciptakan secara repetitif, terutama tokoh-tokoh pewayangan dari narasi mistis wiracerita Ramayana, Mahabarata dan lain-lain, terangkum di dalamnya pitutur luhur ajaran Hindu. Ragam estetika khas Bali tersebut dapat dilacak melalui karya-karya seniman-seniman tradisional Ubud dan Batuan, di mana narasi-narasi mistis itu belakangan digantikan ragam deskripsi kehidupan keseharian masyarakat setempat.
Karya Wirantawan "Gugusan Energi Alam Batin 4.21.6015" (Dok. pribadi seniman) |
Ketika seni lukis Indonesia tengah mencari bentuknya pada tahun 1930-an, seni lukis Bali tradisional telah menemukan sosoknya yang memikat para peneliti asing. Kehadiran Walter Spies dan Rudolf Bonnet sedini tahun 30-an itu, yang membagikan pengalaman penciptaan ala Barat; memperkenalkan anatomi tubuh, komposisi, penggunaan warna hingga eksplorasi atas tematik baru; menandai tahapan transformasi kultural masyarakat pulau ini.
Dengan kata lain, era Pita Maha itu adalah rintisan kemodernan Bali dalam dunia seni rupa. Sedangkan kemodernan yang sesungguhnya lebih tergambar melalui karya-karya para perupa ‘akademis’ era Tusan, Gunarsa, Wianta Pande Supada, Jirna, Erawan, Made Budhiana, dan lain-lain, di mana pergulatan sebagian besar seniman tersebut terfokus upaya penemuan identitas ke-Bali-an, dengan simpang pilihan pada bentuk dan tematik; juga antara ekspresi individual atau komunal; transisi antara nilai-nilai tradisi dan modern.
Sumber: arsip katalog Pameran "Gugusan Energi Alam Batin Putu Wirantawan", Danes Art Veranda (2019) |
Boleh jadi, Putu Wirantawan, sebagai seniman terdidik, lulusan ISI Yokyakarta 2005, yang lahir belakangan (tahun 1970-an) bersama Sudarna Putra, Wirawan, Masriadi, Made Palguna, Ngurah Ngudiantara, Wayan Darya dan lain-lain, lebih leluasa dibanding pendahulunya.Persoalan-persoalan identitas dapat disikapi secara lebih wajar, di mana tradisi dan kemodernan tidak sepenuhnya lagi dialami sebagai pertentangan. Mereka boleh dikata mengalami alih pengetahuan yang bersifat transformative-interpretative, tidak hanya memungkinkan para seniman mempelajari seni Barat secara kritis namun juga memberi ruang bagi mereka untuk menafsir budaya setempat/lokal secara lebih lentur.
Wirantawan dengan proses ciptanya telah mengindikasikan tahapan lain dari tranformasi kultural Bali.Nilai-nilai filosofi Bali (local wisdom) dengan kata kunci semisal harmoni, Tri Hita Karana, serta Rwa Bhinneda dsb, tidak lagi hadir kasat mata yang bersifat deskriptif naratif dengan ikon-ikon khas Bali sebagaimana yang dikenal selama ini. Wirantawan melakukan lompatan kreatif, dimulai sejak tahun 2003, sewaktu perupa ini secara sadar meninggalkan ragam figuratif pada lukisan-lukisan cat cat minyak dan acrylic. Ketekunannya mendalami drawing ini tercermin pada ribuan sketsa yang turut dipamerkan, menunjukan betapa teknik pilihannya ini merupakan gabungan kerja kreatif yang bersifat spontan intuitif, sekaligus terencana dan terukur.
Pameran Putu Wirantawan di Maia Contemporary Gallery, Mexico (Foto Credit: Maia Contemporary Gallery) |
Melalui teknik yang diadopsinya dari seni grafis, drypoint, peraih Jakarta Art Award (2010) mengubah atau merekonstruksi bentuk dasar itu menjadi wujud baru yang tak terduga. Hasilnya adalah sebuah jagat raya yang fantastik- surealistik.
Pameran Putu Wirantawan di Maia Contemporary Gallery, Mexico (Foto Credit: Maia Contemporary Gallery) |
Belum lama ini perupa Putu Wirantawan juga menggelar pameran tunggal di MAIA Contemporary Gallery, Mexico, berlangsung sedari 5 Desember 2024 hingga 30 Januari 2025. Karya-karyanya memperoleh apresiasi mendalam bukan saja publik negara tersebut, namun juga Duta Besar Indonesia untuk Mexico City, Cheppy T. Wartono yang juga hadir pada pembukaan. Pada pameran tersebut Putu Wirantawan kembali menghadirkan kreasi lukisan dua dimensi dan tiga dimensi berbasis drawing yang telah menjadi stilistika khasnya selama ini.
________________
*)Versi lain esai ini telah dimuat di Kompas, Februari 2013