Ilustrasi dibuat dengan teknologi AI |
oleh: Tjahjono Widijanto*)
Kemedekaan Indonesia diraih tidak saja melalui gerakan perlawanan fisik atau politik namun juga melalui perjuangan “jalur budaya”. Inilah sebuah kisah “heroik” di awal pergerakan nasional yang memanfaatkan simbol-simbol budaya diwartakan oleh wartawan Bintang Timoer, Abdul Rivai di Leiden bertitimangsa 3 Oktober 1927.
Tersebutlah sejumlah mahasiswa dan pelajar Indonesia (Hindia Belanda) yang sedang menimba ilmu di Belanda yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia berkumpul di Leiden. Mereka tersebar dari berbagai kota di Belanda, ada yang nge-kost di Den Haag, Delft, Rotterdam, Leiden dan Wageninggen. Angggota-anggota organisasi pelajar yang dulu bernama Indonessische Vereeniging yang kemudian pada 1924 resmi berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia itu menggagas, berdiskusi dan berdebat dalam upaya membebaskan diri dari cengkeraman kolonial.
Dalam pertemuan itu sengaja mereka tonjolkan simbol-simbol budaya yang merujuk pada “identitas ke-nasionalan” atau "kenusantaraan" dan membuang segala atribut yang berbau Belanda. Mereka bahkan menyebut pertemuan itu dengan istilah “selamatan”. Istilah selamatan ini dalam konteks kebudayaan Nusantara mengandung pengertian akan sebuah pertemuan yang guyub, akrab, penuh persaudaraan bahkan mengandung unsur spiritual. Bahasa yang digunakan dalam pertemuan itu adalah bahasa Melayu dan Jawa bukan bahasa Belanda. Makanan-makanan yang disajikan semua khas Indonesia mulai dari tiwul, ketela, sagu juga rempah. Cara makan
mereka muluk alias menggunakan tangan tidak menggunakan sendok. Mereka bergotong royong mulai dari urusan makan hingga urusan bersih-bersih. Semuanya made in Indonesia!
Dalam tulisan reportase bertajuk “Student Indonesia di Eropa” itu, Abdul Rivai melaporkan, “Kopinja boekan kopi saringan, tetapi kopi toebroek sebab kopi ini kata mereka nationaal, goelanja goela Djawa. Soesoe tidak dipakai sebab tidak nationaal. Rokoknya kelobot, dengan tjampoeran tjengkeh Noesantara. Selamatan nationaal ini teroes berlangsoeng sampai pagi”.
Pada laporan jurnalisme Rivai ini nampak bahwa cengkeh, kretek klobot dan kopi tubruk dianggap dapat sebagai simbol budaya yang mewakili identitas kenusantaraan. Klobot rokok krerek asli Nusantara berupa daun jagung (klobot) yang di dalamnya ada rajangan mbako (tembakau Jawa) dicampur dengan cengkeh, rempah-remnpah asli Nusantara bersama kopi trubuk berfungsi tak hanya sekedar isapan, minuman, atau kenikmatan namun menjelma sebagai simbol untuk mengungkapkan perasaan nasionalisme dan solidaritas kebangsaan.
Klobot kretek Nusantara yang di dalamnya terdapat cengkeh dihadirkan sebagai simbol pemacu kesadaran dan siprit untuk merdeka karena cengkeh dan tanaman rempah-rempah lainnya seperti pala dan lada, yang menggerakkan bangsa Barat bercokol di Nusantara dan merampasnya. Simbol klobot cengkeh ini untuk mengingatkan bahwa kolonialisasi yang dibangun oleh kerajaan kolonial Portugis, Belanda, Spanyol dan Inggris, awalnya memang dibangun atas dasar pencarian tanaman rempah-rempah seperti: cengkeh, lada, kayu manis, dan bunga pala. Masa itu rempah-rempah merupakan tanaman langka dan berharga sehingga oleh bangsa Eropa disebut-sebut sebagai “tumbuhan sorga”. Nafsu akan “tumbuhan sorga” ini yang memunculkan energi dahsyat dan jahat berbentuk kolonialisasi dan imperalisme Barat di Timur hingga berabad-abad berikutnya.
Kopi tubruk sendiri digunakan sebagai simbol identitas karena juga merupakan kopi khas Indonesia yang berbeda dengan kopi lainnya di dunia. Kopi tubruk terbuat dari bubuk kopi yang dijerang bersama dengan gula (saat itu menggunakan gula batu atau gula Jawa). Ciri khas kopi tubruk adalah endapan kopi di dalam gelas atau cangkir. Pembuatan kopi tubruk berbeda dengan pembuatan kopi lain. Dalam kopi tubruk biji kopi yang sudah disangrai tidak dihaluskan menggunakan mesin tetapi ditumbuk dengan tangan. Di tangan para pemuda tepelajar Indonesia di Belanda itu kopi tubruk bersama klobot dari sekedar minuman dan hisapan berubah menjadi simbol yang dianggap dapat membangun komunitas imajiner bersama akan sebuah negara bangsa bernama Indonesia.
Pada waktu yang berbeda ditahun-tahun 1926, pemuda Soekarno mendirikan Algemene Studieclub. Pada suatu ketika, untuk pertama kalinya Soekarno mendapat kesempatan berbicara di depan sidang Parlementer Hindia Belanda. Menjelang sidang Soekarno muda berjalan hilir mudik memikirkan apa yang akan ia simbolkan sebagai sebuah identitas bersama bernama Indonesia. Akhirnya dipakailah sebuah peci hitam, topi khas Indonesia untuk meneguhkan identitas sebagai putera Indonesia. Peci hitam itulah hingga kini mejadi simbol resmi busana kenegaraan para pejabat pemerintahan Indonesia.
Akhirnya, identitas akan nasionalisme yang pada mulanya disimbolkan dengan kopi tubruk dan kretek klobot cengkeh ini menemukan jangkar teguhnya dalam pidato Soekarno 1 Juni 1945: “...Kita hendak mendirikan suatu negara “semua untuk semua” Karena itu jikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali atau lain-lain, Tetepi kebangsaan Indonesia yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat!”
Penulis adalah satrawan, dan Kepala Sekolah. Alumnus Program Doktoral Pend. Bahasa Sastra Indonesia di UNS Solo.Tinggal di Ngawi, Jawa Timur