Putu Suasta, Ziarah Sejarah dan Spiritual

Jumat, 01 November 2024 : 12:02
Putu Suasta bersama sahabat seperjalanan, Valentino, Milda, Aryawati

Ini kali kedua, Bli Putu Suasta menempuh perjalanan ziarah Camino de Santiago. sebelumnya, tahun 2022, budayawan dan aktivis berbagai gerakan kepedulian ini, telah telah berjalan kaki sekitar 170 kilometer. Pada waktu itu, mula berangkat dari Porto Portugal ke titik pusat pertemuan, di Katedral Santiago de Compostela di Provinsi Galicia, Spanyol. Adapun “retreat” kali kedua ini, tahun 2024, tak kurang dari 200 kilometer dilaluinya, menyusuri rute dari Bilbao menuju Villalba-Baamonde-Pedruzo-Santiago. Bukan hanya meniti ngarai dan lembah serta lereng gunung, tak jarang mesti berjalan dibawah guyuran hujan. 
 
Bagi alumni UGM dan Cornell University, New York ini, ternyata kelana lintas bangsa sudah sedini muda dilakukannya. Bahkan selepas kuliah di Amerika itu, ia memutuskan  langsung berangkat ke belahan wilayah Antartika; menjelajahi berbagai negeri menuju kawasan Asia Tengah hingga tiba di India. Menyinggahi berbagai situs peninggalan historis dan keagungan silam, lanjut menyelusuri kota-kota di kawasan Asia Tenggara. 
 
Apa pula hakikat pengalaman kelana itu bagi kehidupan Bli Putu kini dan mendatang, sejurus berbagai peristiwa yang dilewatinya di masa silam, termasuk pula ritretnya ke Camino? Sesungguhnya apa yang mendorongnya melakukan ini semua, tidak pandang usia muda atau tua tetap bersemangat melakukan semacam ziarah pada sejarah guna memenuhi panggilan batin? 

Berikut tuturan wawancara dengan Bli Putu Suasta tentang kelana lintas bangsa yang lintas masa ini.
 
Tanya :
Bli, apa yang memotivasi Anda melakukan kelana lintas bangsa sedini muda? Apa perbedaan pengalaman terdahulu di masa muda dengan berjalan kaki ratusan kilometer di usia kini?
 
Jawab :
Ide melakukan perjalanan Camino de Santiago ini sebenarnya bermula dari ajakan teman-teman, yang kebetulan menganut agama katolik. Tentu saja ajakan ini menarik, mengingatkan pengalaman kelana lintas bangsa sewaktu muda dahulu. Terlebih lagi di dalam keyakinan masyarakat Bali, Hindu, ada yang disebut dengan lelaku Tirta Yatra; suatu tradisi melakukan perjalanan ke tempat suci yang bertujuan melakukan penyucian diri, sebuah upaya perenungan lahir batin. 

Saya kemudian membaca referensi tentang Camino de Santiago dari berbagai sumber. Rupanya perjalanan menempuh ratusan kilometer ini adalah sebentuk ziarah spiritual, merunut jejak sejarah ribuan tahun lalu. Ada tokoh penganut kristen semasa awal penyebarannya, bernama Yakobus. Ia adalah  salah seorang murid Yesus yang meninggal di Yerusalem konon karena eksekusi mati oleh Raja Herodes Agripa I. Dan jasadnya dibawa oleh para pengikutnya dengan berjalan kaki dari Yerusalem hingga tiba di Santiago, wilayah Spanyol. Maka sejak 800 tahun yang lalu rute tersebut menjadi ramai oleh para peziarah yang ingin mengunjungi makam Yakobus di katedral Santiago. 
 

 
 
Walaupun pada mulanya perjalanan ini adalah tradisi Katolik, ziarah Camino ini ternyata ratusan tahun belakangan juga ditempuh oleh orang-orang lintas agama dan lintas bangsa. Dengan demikian hakekatnya ini adalah perjalanan spiritual yang universal, melampaui semata ritual dari agama tertentu saja.
 
Bayangkan saja, anak manusia segala bangsa dari berbagai lapis usia muda, dewasa hingga lanjut usia, melakukan retreat berjalan kaki ratusan kilometer, dalam kondisi alam dan lingkungan yang terbilang masih alami. Seringkali menempuh jalan setapak berliku dan menanjak serta dibawah cuaca yang tak menentu kadang hujan turun berhari serta terik berkali. Ini bukan sekadar wisata ziarah ke tempat suci apalagi holiday tour.
 
Tanya:
Tadi Bli menyinggung bahwa ini bukan sekadar ziarah, atau semata tradisi umat Katolik, sebab dilakoni juga oleh orang-orang dengan berbagai keyakinan, dari banyak belahan dunia. Bagaimana pengalaman pertemuan Anda bersama orang-orang dari lintas suku, bangsa dan agama selama perjalanan Camino de Santiago?
 
Jawab:
Pergaulan yang lintas suku atau agama ini sebenarnya bukanlah sebuah pengalaman baru bagi saya pribadi. Ketika berkuliah di Universitas Gadjah Mada sekitar akhir tahun 70-an, saya sudah berteman dengan orang-orang dari berbagai lapis sosial dan juga berlatar agama berbeda, termasuk NU dan Muhammadiyah. 

Dengan perjalanan ziarah berpuluh hari ini, pemahaman saya kini lebih mendalam tentang spiritualitas yang melampaui batas-batas agama. Penghayatan pada pengalaman ini mendorong terbukanya kesadaran bahwa aksi sosial kepedulian ternyata memiliki dimensi spritualitasnya tersendiri.
 
Saya dan kawan-kawan bertemu dengan para peziarah dari berbagai bangsa, negara, serta berasal dari beraneka suku. Kami bertemu karena panggilan, yang boleh dikata  terhubung juga pada hal yang niskala. Kelana ini menyadarkan kami semua bahwa laku spiritual itu adalah cara untuk menjalin koneksi lintas budaya dan agama, memperkuat makna spiritualitas dan sekaligus kepedulian sosial dalam hidup saya.
 
  
Putu Suasta bersama sahabat seperjalanan, Valentino, Milda, Aryawati, Sapto  
 
Tanya:
Bagaimana dengan bentuk spiritualitas yang Bli temui, dialami dan dihayati di Bali selama ini, terutama setelah melakukan perjalanan Camino de Santiago?
 
Jawab:
Di Bali, spiritualitas erat terkait dengan kehadiran ritual dan upacara, berikut simbol-simbol yang fungsi dan maknawinya bertaut jelas. Di Camino, saya merasakan suatu pendekatan yang boleh dikata lebih sederhana; mendorong penghayatan mendalam pada upaya introspektif. Menyusuri desa dan hutan selama lebih dari 20 hari, secara langsung mengantarkan suatu penghayatan mendalam yang mempribadi, dimana saya jauh merasa lebih dekat dengan alam dan diri sendiri. Setiap ayun langkah, adalah proses penyucian batin. Spiritualitas yang dialami di Bali dan di Santiago itu, meskipun beda bentuk lelakunya, namun intinya sama: yakni menemukan harmoni dengan diri, alam, dan yang Widhi atau yang Ilahi.
 


 
Pertemuan manusia lintas bangsa pada ziarah Santiago ini dimaknai pula dengan forum-forum diskusi tentang kepedulian sosial kultural dan lingkungan serta keadilan global. Hal mana ini mengingatkan saya juga pada persahabatan dahulu kala dengan Romo Mangunwijaya. Semangat aktivitas dan kepedulian sosial Romo Mangun ini, semisal upayanya membangun pemukiman untuk rakyat jelata di Kali Code Yogyakarta, mewarnai idealisme aktivis sosial masa itu. Ya, Mangunwijaya bukan hanya seorang arsitek, sastrawan, budayawan, dia juga aktivis sosial yang peduli pada nasib kaum marginal.
 

 
Tanya:
Menempuh perjalanan ratusan kilometer tentu bukan hal yang mudah. Bagaimana Bli mempersiapkan diri untuk menempuh perjalanan Camino de Santiago ini?

Jawab:
Ya, tentu saja kita memerlukan persiapan fisik dan mental yang kuat. Menempuh jarak sejauh 200 km selama hampir sebulan tentu memerlukan ketahanan fisik maupun batin. Sebelum berangkat ke Portugal, saya melatih diri selama hampir enam bulan dengan berjalan kaki di Padang Galak. Saya mempersiapkan berbagai hal, seperti memilih pakaian yang cocok dengan suhu dingin sekitar dibawah 20 derajat, berikut cuaca yang tak menentu, seringkali hujan berhari, atau terik dan panas yang menyengat. 

Latihan dan persiapan lahir batin tersebut ternyata besar pengaruhnya untuk perjalanan ziarah tersebut. Setiap hari, setiap langkah adalah perjuangan untuk maju menuju Santiago. Kita mesti menghadapi rasa lelah yang membebani langkah berikut kondisi perjalanan yang alamnya penuh tantangan. 
 
 


Namun, justru di tengah berbagai kesulitan itu, saya menemukan pelajaran tentang hal hakiki dari kekuatan diri, serta bagaimana mengolah tekad untuk terus semangat melangkah. 
 

Selama perjalanan, kita juga dituntut untuk mengelola kesehatan diri. Rutin mengkonsumsi vitamin dan asupan cairan yang cukup. Kendala terbesar yang dihadapi adalah suhu dingin dan angin kencang yang berhembus, tak jarang membuat kita terhuyung atau limbung apalagi bila kondisi tubuh sudah sangat lelah menempuh perjalanan yang jauh. 

Saya sudah mempersiapkan seluruhnya berdasarkan pengalaman perjalanan retret yang pertama. Saya menggunakan jaket tipis, juga membawa barang-barang yang efisien sesuai kebutuhan utama, agar ransel tidak terlalu berat. Persiapan itu juga memudahkan saya mencuci baju dengan pertimbangan bisa kering cepat di setiap persinggahan atau tempat menginap. 
 
 

Tanya:

Pada kali kedua perjalanan Bli ke Camino de Santiago, telah menempuh rute berbeda untuk sampai ke tujuan utama, Katedral Camino. Apakah ada perbedaan dengan perjalanan pertama, sebagai pengalaman keseharian maupun sebagai penghayatan batin?

Jawab:
Ya tentu ada perbedaan, karena kondisi jalan yang kita ditempuh memiliki kekhasan masing-masing; mengingat titik mula berangkatnya yang berbeda juga; yakni dari wilayah Portugal dan Spanyol. Ketika kita keluar masuk hutan melewati jalanan becek dan berlumpur saat cuaca hujan, kita selalu bertemu dengan orang-orang baru, peziarah berbeda dari berbagai latar belakang, saling bertukar cerita dan pengalaman masing-masing.  

Perjalanan ini sudah menjadi tradisi ratusan tahun, berbagai tempat telah tersedia kemudahan bagi para peziarah, semisal bagaimana mengakses tempat tinggal atau singgah dengan banyak kemungkinan untuk dipilih. Informasi tersedia di banyak tempat, juga ada petunjuk arah yang bisa kita pelajari lebih dini. 

 

Tanya:
Bagaimana interaksi dengan peziarah lain memperkaya perjalanan spiritual Bli?
 
Jawab:
Interaksi dengan peziarah dari berbagai latar belakang adalah pelajaran berharga tentang solidaritas dan kolaborasi antarbudaya. Perbedaan agama tidak lagi menjadi batasan, karena pengalaman yang kami jalani bersama mengajarkan bahwa spiritualitas dapat ditemukan dalam setiap momen dan interaksi. Melalui percakapan, saya belajar memahami perspektif lain tentang kehidupan dan semesta keyakinan, yang memperkaya pandangan saya tentang kehidupan ini.
 

Tanya:
Apa yang ingin Bli pelajari dari pengalaman ini yang ingin dibagikan kepada teman-teman?
 
Jawab:
Titiang belajar bahwa spiritualitas bisa ditemukan di mana saja, dalam setiap perjalanan dan interaksi. Perjalanan ini mengingatkan bahwa kita semua adalah peziarah dalam kehidupan ini, yang perlu terbuka terhadap pengalaman baru dan refleksi mendalam. Yang terpenting adalah menerima perjalanan sebagai proses, bukan hanya melihat tujuannya.
 
 
Tanya:
Selain pengalaman  yang dihayati secara pribadi tersebut, bagaimana sesungguhnya keberadaan kota-kota, wilayah-wilayah yang dipenuhi situs historis, seturut alur rute perjalanan spiritual tersebut berdasarkan tinjauan historisnya?

Jawab:
Ya saya sepanjang perjalanan yang ratusan kilometer itu, sesekali teringat juga pada represensi historis yang sempat saya pelajari. Spanyol adalah salah satu imperium terbesar dalam sejarah, boleh dikata adalah imperium global pertama. Bersama dengan Imperium Portugis, Imperium Spanyol meletakkan dasar bagi pembangunan perdagangan global dengan membuka jalur perdagangan lintas samudera besar. 


 
Kita mesti mengingat juga bahwa Bahasa Spanyol dan Gereja Katolik Roma dibawa ke Amerika dan Hindia Timur Spanyol (Negara Federasi Mikronesia, Guam, Kepulauan Mariana, Palau dan Filipina) oleh penjajah Spanyol yang bermula pada abad ke-15. Hukum internasional modern berakar dari ekspansi koloni Spanyol, dimana tuntutan akan keadilan universal mengemuka seturut pengalaman buruk akan trauma masa penjajahan ini.

Di sisi lain kehadiran imperium Spanyol ini melahirkan budaya hispanic pada seluruh bekas koloninya. Bahkan bahasa Spanyol masuk sebagai bahasa resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
 


Tanya:
Bagaimana implementasi pengalaman ziarah ini Bli?

Jawab:
Ya pertama-tama saya juga kian menyadari bahwa warisan para leluhur kita berupa ajaran Tri Hita Karana (menjaga keharmonian antara manusia dan tuhan, manusia dan alam, serta dengan sesama) adalah suatu pesan yang sungguh-sungguh bersifat universal. Ziarah spiritual dimanapun tujuan utamanya adalah untuk mencapai kebaikan dan kedamaian. Melalui ziarah spiritual, manusia melampaui ego ras dan agamanya, sepenuhnya demi kehidupan bersama yang lebih baik, lebih damai dalam keadilan dan kemanusiaan. 
(Katarupa.id/WW/ID/NA)

Berbagi Artikel