Gelombang Itu Datang Lebih Cepat Daripada yang Diperkirakan

Rabu, 27 November 2024 : 17:01

Ilustrasi dibuat dengan teknologi AI

oleh: Riri Satria

Saat ini, sebagian besar kita memiliki smartphone. Nah, silakan perhatikan dengan seksama smartphone-nya. Itu adalah sebuah produk teknologi yang dulunya merupakan produk yang terpisah-pisah. Ada telepon untuk fasilitas telekomunikasi. Ada kamera untuk memotret. Lalu ada komputer untuk mengerjakan banyak hal. Nah, teknologi yang dulu terpisah-pisah itu sekarang menyatu pada satu produk. Teknologi menjadi lebih ringkas, satu produk dengan beberapa kegunaan. Inilah yang disebut dengan konvergensi teknologi.

Bagi yang menyukai fotografi, mari kita perhatikan perkembangan teknologi kamera saat ini. Kita pasti akrab dengan  kamera Digital Single-Lens Reflex atau DSLR. Tetapi beberapa tahun belakangan ini muncul kamera dengan jenis baru, yaitu Mirrorless Interchangeable Lens Camera (MILC) yang sehari-sehari disebut Mirrorless Camera. Kamera jenis terbaru ini ukurannya lebih kecil, instrumen di dalamnya lebih ringkas, karena ada beberapa komponen yang menjadi konvergen. Ini juga suatu bentuk konvergensi teknologi.

Inilah yang dimaksud oleh Peter H. Diamandis dan Steven Kotler dalam buku mereka "The Future is Faster than You Think: How Coverging Technologies are Transforming Business, Industries, and Our Lives". Buku yang terbit tahun 2020 ini sangat menarik untuk dibaca, karena proses kovergensi teknologi sedang terjadi secara besar-besaran saat ini di dunia. Bahkan riset menunjukkan bahwa semua gelombang perubahan itu datang lebih cepat daripada yang diperkirakan sebelumnya.

Namun jangan salah. Ini bukanlah isu teknologi semata, melainkan merupakan isu yang jauh lebih besar, yaitu perubahan kebudayaan bahkan peradaban.

Teknologi utama yang menjadi motor konvergensi teknologi ini adalah teknologi digital. Ini memang sebuah teknologi yang memberi dampak sangat cepat dan luas, bahkan disruptif kepada dunia bisnis, bahkan kehidupan kita sehari-hari. Bagi generasi X dan Y, konvergensi ini sangat terasa, sedangkan buat generasi Z, mereka sudah mengalami produk kovergensi sejak lahir, walaupun sebenarnya konvergensi itu masih terus berjalan, contohnya kamera mirrorless tadi.

Diperkirakan ke depannya, konvergensi teknologi peralatan yang kita gunakan akan semakin masif, terutama dengan perangkat-perangkat internet of things atau IoT ditambah dengan kecerdaan buatan, sehingga kehidupan menjadi seperti apa yang disinyalir oleh Chris Skinner dalam bukunya "Digital Human: The Fourth Revolution of Humanity".

Nah, akhirnya isu teknologi tak dapat dipisahkan dari isu kemanusiaan atau kebudayaan yang membentuk peradaban. Isu digital human yang diusung oleh Chris Skinner adalah isu kemanusiaan atau kebudayaan yang diintervensi oleh perkembangan teknologi digital. Kehadiran teknologi pada hakekatnya adalah untuk mempermudah pekerjaan manusia, menggantikan manusia untuk pekerjaan-pekerjaan yang berbahaya, serta memungkinkan manusia untuk mengerjakan hal-hal baru. Dengan teknologi manusia bisa mengerjakan hal-hal yang "lebih manusiawi" dan pekerjaan-pekerjaan yang berbahaya dan berisiko tinggi bisa dialihkan ke mesin.

Namun tidak itu saja, pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya klerikal juga digantikan oleh mesin, misalnya penjaga gerbang tol di jalan, sekarang sudah tidak ada dan digantikan oleh mesin. Akhirnya manusia memang harus mengerjakan hal-hal yang sesuai dengan harkat dan martabat sebagai manusia yang membutuhkan pemikiran, kreativitas, perasaan, dan sebagainya, yang dikenal dengan istilah kemampuan berpikir tingkat tinggi atau high order thinking skills (HOT) bukan lagi pekerjaan-pekerjaan yang rutinitas dan dapat dilakukan mesin atau setara dengan kemampuan berpikir tingkat rendah pada manusia atau low order thinking skills (LOTS).

Saya percaya betul dengan prinsip human intelligence is above artificial intelligence (AI). Dengan demikian masih dibutuhkan sentuhan manusia dengan HOTS untuk hal ini. Namun AI dan teknologi lainnya memang akan menjadi persoalan bagi manusia yang tidak mampu mengembangkan kapasitas dirinya, sehingga kemampuan yang dia miliki lama-kelamaan kalah dengan mesin. Kemampuan tertinggi manusia itu adalah kreativitas dan berinovasi, ini yang sulit untuk ditiru oleh teknologi apapun. Jadi AI kita perlakukan sebagai tools atau alat bantu saja, bukan sebagai end-result. Ini berarti campur tangan manusia tetap diperlukan.

Peradaban manusia di dunia ini terus berubah sejak zaman dahulu dan di sisi lain, dunia sastra selalu memberikan respon terhadap perubahan itu dengan tujuan menjaga nilai-nilai manusiawi atau kemanusiaan itu sendiri. Meski karya sastra tidak akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tidak menemukan obat baru untuk berbagai penyakit, ataupun menciptakan teknologi canggih, namun karya sastra pada umunya memiliki peran tak langsung yang sangat penting dalam sejarah peradaban manusia.

Ketika terjadi revolusi industri pertama kali di Inggris pada kurun waktu 1760-1850, kondisi tersebut membawa perubahan peradaban manusia saat ini. Salah satu respon dunia sastra kepada perubahan itu adalah novel karya penulis Inggris Charles Dickens berjudul Oliver Twist yang diterbitkan pada tahun 1838 yang menggambarkan bagaimana masyarakat terbelah menjadi kaum kapitalis atau borjuis serta kamu pekerja atau buruh, serta muncul banyak penyakit sosial di masyarakat lapisan bawah saat itu. Ini menunjukkan bagaimana karya sastra seperti Oliver Twist ikut serta mengawal perkembangan peradaban saat itu.

Saya sependapat dengan Rosemarie Dombrowski seorang Dosen Sastra di Arizona State University, di mana dia pada tahun 2020 mengatakan bahwa poetry is a sociohistorical record of both facts and emotion, atau puisi adalah catatan sejarah yang berisikan fakta sekaligus suasana emosional yang terjadi pada masa itu. Jadi berbeda dengan sejarah pada umumnya, yang hanya merekam fakta sosial, maka puisi atau karya sastra pada umumnya juga dapat merekam fakta emosional, dan itulah yang kita tangkap dalam novel Oliver Twist.

Begitulah perkembangan zaman. Diamandis dan Kotler mengatakan "the future is faster than you think". Peradaban sedang berubah, salah satunya karena konvergensi teknologi ini. Ya, salah satu yang abadi terjadi dalam peradaban manusia adalah perubahan. Memang tidak semua hal berubah, ada nilai-nilai luhur yang perlu dijaga kelestariannya. Namun harus disadari bahwa banyak aspek kehidupan yang berubah. Smartphone yang kita miliki sudah mengubah banyak hal dalam kehidupan kita.

Dalam ranah sastra, terjadi pergeseran penciptaan estetika ke arah meta estetika, di mana proses penciptaan karya sastra dilakukan mesin namun dikendalikan sastrawan melalui teknik prompting. Terjadi jembatan baru, yaitu namanya metaestetika atau tidak secara langsung menciptakan estetika itu sendiri. Perlu diingat bahwa meskipun teknologi terus berkembang, esensi kreativitas manusia tetaplah sesuatu yang unik dan tidak tergantikan. Tantangan ke depan adalah bagaimana kita bisa memanfaatkan teknologi untuk memperkaya karya dan tetap mempertahankan kemanusiaan dalam setiap prosesnya.

Satu hal lagi yang penting, pada era digital, siber, dan internet saat ini. Kita dapat dalam hitungan menit membuat dunia tercengang dalam dua bentuk ketika kita mem-posting sesuatu, baik karya kita atau apapun. Pertama, dunia bisa tercengang karena betapa hebatnya kita karena kita memposting "berlian" yang berkilau. Lalu kedua, dunia juga bisa tercengang melihat betapa konyolnya atau bodohnya kita, karena kita memposting "sampah" yang buat dunia sakit perut dan mual. Nah, kita termasuk yang mana ya?

Saya sering mengatakan dalam berbagai tulisan maupun  seminar bahwa perubahan adalah suatu keniscayaan. Peradaban manusia maju karena perubahan. Namun, ada empat sikap manusia terhadap perubahan. Ada yang pro, ada yang kontra. Semua tergantung sudut padang mereka.

Pertama, mereka yang menolak perubahan. Perubahan buat mereka adalah ancaman. Entah itu ancaman eksistensi, atau yang lainnya. Mereka mungkin sudah mapan dalam zona nyaman lalu memberi label bencana terhadap perubahan. Bagi mereka perubahan perlu ditolak, perlu diwaspadai, dan mereka punya 1001 alasan menolak perubahan. Malahan, mereka berperang dengan perubahan, ada yang menang, namun lebih banyak yang kalah. Banyak juga yang akhirnya mengeluhkan kehidupan dan jangan-jangan mungkin komplain kepada Tuhan.

Kedua, mereka yang hanya menyaksikan perubahan. Angin perubahan tak mereka tolak, namun juga tak memberi manfaat. Mereka tetap seperti apa sebelumnya dan bagi mereka perubahan bukanlah ancaman, namun juga bukan karunia apalagi anugerah. Perlahan, mereka digulung oleh perubahan, sehingga mereka perlahan tersingkir. Kemudian perubahan jadi ratapan dan air mata. Mereka sadar, sedang terjadi perubahan. Mereka mungkin ingin mengikuti gelombang, tetapi tak ada biduk apalagi kapal bersamanya. Mereka menanti uluran tangan kita untuk mengajak mereka turut serta menikmati manfaat perubahan.

Ketiga, mereka yang mengikuti perubahan bahkan mampu memanfaatkan perubahan. Mereka memasang kincir ketika angin datang. Mereka siap dan sadar dengan perubahan. Perubahan adalah karunia dan anugrah dan memberikan nilai tambah kehidupan. Mereka mampu melihat sisi positif perubahan dan tidak bersembunyi di balik 1001 alasan. Mereka sudah menyiapkan kapal sejak lama untuk mengarungi gelombang perubahan. Mereka visioner, antisipatif, mempelajari masa depan.

Keempat, mereka yang menciptakan perubahan dan membuat dunia tercengang. Mereka membentuk peradaban dan menginginkan dunia menjadi lebih baik. Mereka tampil dengan ide-ide cemerlang, di mana mungkin, tak semua manusia sanggup memikirkan, apalagi mengikuti mereka untuk mewujudkan. Prinsipnya hari ini harus lebih baik daripada kemarin, dan hari esok harus lebih baik daripada hari ini. Semua itu hanya dilakukan melalui perubahan. Demikian sabda alam yang dia pikirkan di mana perubahan itu membentuk peradaban.

Jadi dengan demikian, perubahan itu juga harus disikapi dengan perubahan mindset bakan paradigma, walaupun sekali lagi, tidak semua harus berubah. Namun perlu dicatat bahwa ketika kita berbicara perubahan atau kemajuan teknologi, maka sesungguhnya kita juga berbicara tentang kebudayaan dan kemanusiaan. Demikian menurut saya.

 -----

RIRI SATRIA lahir di Padang, 14 Mei 1970, adalah Staf Khusus Menteri Koordinator Politik dan Keamanan bidang ekonomi dan transformasi digital serta siber, berprofesi sebagai dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, Komisaris Utama PT. ILCS Pelindo Solusi Digital, Anggota Dewan Penasihat Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI), serta di dunia sastra sebagai Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM).Puisinya sudah diterbitkan dalam empat buku puisi tunggal di samping lebih dari 60 buku kumpulan puisi bersama penyair lainnya. Riri juga menulis esai yang dibukukan dalam tujuh buku kumpulan esai yang membahas berbagai topik tentang dunia digital dan siber serta kaitannya dengan kebudayaan dan kemanusiaan.

Berbagi Artikel