Mendekonstruksi Kumpulan Puisi Tetaplah Tidur Mendengkur

Jumat, 27 September 2024 : 14:03
 Oleh: Bambang Widiatmoko*)
 
 /1/
Mengungkapkan proses kreatif penyair terhadap karyanya adalah upaya dekonstruksi sebagai suatu pemikiran untuk memahami makna-makna yang ada di dalam karyanya. Pemikiran dekonstruksi berpijak bahwa suatu teks dalam hal ini puisi pasti memiliki makna-makna yang tersembunyi dan memiliki arti yang berbeda-beda bahkan bisa berupa paradoks. Begitu pula upaya mendekonstruksi kumpulan puisi Tetaplah Tidur Mendengkur (Interlude, Juli 2024).
 
Untuk memahami puisi dan bagaimana puisi itu ditulis adalah membuka ruang bagi diri penulisnya. Puisi juga memberikan ruang bagi pembaca untuk menafsirkan identitas tersebut dan membuka peluang bagi dialog dan refleksi yang lebih mendalam tentang apa artinya menjadi diri sendiri/penyair dalam konteks memeriahkan festival sastra ini.
 
 
/2/
Proses kreatif saya dalam penulisan puisi  tak selalu bermula dari tema, misalnya tema yang ditawarkan dalam FSIGB yang berganti setiap tahunnya. Meski demikian saya tak menampik bahwa dalam menulis puisi banyak yang menyebutkan bermula dari tema karena tema merupakan hal yang hendak dikatakan penyair. Setelah tema ditemukan ternyata terkadang saya kesulitan mengembangkan ke dalam larik-larik puisi. Artinya, tema itu menjadi sesuatu yang abstrak. Puisi tidak harus berangkat dari tema sebab bisa bermula dari mana saja dan tidak selalu menunggu datangnya ilham.
 
Saya meyakini bahwa dalam karya sastra yang utama adalah persoalan estetika. Persoalan estetika dalam puisi melibatkan imajinasi, emosi, ide, pemikiran, nada, irama, kesan pancaidera, susunan kata, kata-kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampurbaur. Artinya, puisi tidak bisa tercipta tanpa adanya ide. Proses kreatif penulisan puisi dimulai dengan ide atau suasana tertentu yang menggelitik pikiran dan perasaan saya. Ide itu sifatnya sesaat, tidak tergantikan, dan ide tak bisa diulang.
 
Karya sastra khususnya puisi dibangun atas dasar sarana bahasa sehingga menampilkan keindahan bahasa. Perlu disadari menikmati puisi melalui keindahan bahasa jelas tidak mencukupi. Faktor lain yang sangat penting adalah isi atau pesan yang  disampaikan melalui bahasa.
  
Judul dalam Kumpulan puisi Tetaplah Tidur Mendengkur  tidaklah muncul begitu saja. Puisi bukanlah sekadar susunan kata-kata tetapi merupakan gambaran pengetahuan dan konsep berpikir dari sang penyair atau penulisnya. Makna puisi seringkali mengisahkan hal-hal yang dialami oleh penulisnya. Pengalaman tersebut saya  lukiskan dalam berbagai gaya dan tentunya bersifat personal. 
 
Demikianlah saya menulis puisi berjudul “Tetaplah Tidur Mendengkur” sebagai sebuah rekaman kisah dalam perjalanan kehidupan seseorang.
Barangkali tak perlu lagi menghitung usia
Sebab malaikat pun enggan mencatatkannya
Biarkan saja matahari terbit dan tenggelam
Meski sesekali kita menikmati cahayanya
Yang terpancar pada luasnya samudera dan kehidupan.
 
Tentu nasib baik dan buruk tak ditentukan melalui Ciam Si
Tapi pada kekuatan kesungguhan dan ketetapan hati
Maka lewatilah enampuluhlima tahun usia dengan bersyukur
Sebab semuanya sudah pasti untuk menuju alam kubur
Jadi tetaplah  tidur nyenyak sambil mendengkur.
            (Hlm. 50)
 
Membaca puisi di atas seolah menjawab pertanyaan, bahwa karya sastra tidaklah lahir dari kekosongan sosial (sosial vacuum), tetapi lahir dan dipengaruhi oleh realitas sosial  serta konteks budaya yang ada di dalam masyarakat. Realitas sosial yang berada di dalam kehidupan penyair menjadi ide dan materi yang  diwujudkan menjadi puisi.
 
Puisi tersebut saya tulis ketika melihat tidak sedikit sahabat saya yang mengalami Post Power Syndrome ketika memasuki masa pensiun. Selain menurunnya kesehatan juga cenderung menyebabkannya mengalami depresi. Lalu saya tulis sebagai suatu harapan dalam kutipan “lewatilah enampuluhlima tahun usia dengan bersyukur/Sebab semuanya sudah pasti untuk menuju alam kubur/Jadi tetaplah  tidur nyenyak sambil mendengkur.”
   
Sehingga jika dilihat sebagai satu bentuk keindahannya puisi memiliki dua unsur pembangun. Kedua unsur tersebut adalah struktur batin dan struktur fisik. Struktur batin puisi adalah tema, perasaan, amanat, nada atau suasana yang dalam puisi tersebut jika dijadikan tema bertema Pensiun. Struktur fisik puisi adalah diksi, bahasa kias, pencitraan untuk merangkai gagasan atau emosi dan kesan.
 
Sebagian besar puisi saya berangkat dari peristiwa langsung yang saya alami.  Sekadar contoh adalah puisi rekaman acara FSIGB dua tahun lalu ketika diam-diam saya mengajak beberapa teman peserta berkunjung ke Pulau Penyengat. Saya kutip puisi berjudul “Taksu” berikut ini:
 
Di makam Raja Ali Haji
Ngakan Made Kasub Sidan duduk bersimpuh
Udara gerah mempersingkat waktu ziarah
“Dia sedang melakukan taksu,” kata Andika menjelaskan
Lalu aku bergeser tempat
Sambil membaca Gurindan Dua Belas di dinding.
 
Kita mencoba melakukan taksu
Dengan cara masing-masing
Menyerap energi penguasa semesta
yang diturunkan di Pulau Penyengat
Seperti Raja Ali Haji menuliskan gurindam
Dan Ngakan Made bermain Gong Bali
Dengan curahan jiwa dan tari sepenuh hati.
 
Meninggalkan Pulau Penyengat
Gelombang laut angin selatan mempermainkan sampan
Semua saling menatap pandang
Barangkali kini giliranku melakukan taksu
Kepasrahan hidup sepenuhnya kepada takdir-Mu.
            (Hlm. 99)
 
Dengan demikian maka sebagai penyair kita pun bebas menafsirkan apa yang dimaksud dengan taksu, sebagai bentuk pujian atau kekaguman yang bersifat magis kepada sesuatu. Ketika kembali berlayar pulang ke dermaga Sri Bintan Pura, perahu bergoyang-goyang dihantam ombak besar maka saya melakukan taksu yang merujuk pada Tuhan agar diberi keselamatan.
 
Begitu pula dalam sajak perjalanan berjudul “Museum Samawa” ini:
 
            Dari jalan Mawar kita melangkah bersama menuju
            Museum Samawa, Istana Tua
            Lalu masih perlukah kuhitung jumlah tiang kayu
            Sebagai simbol Asma’ul Husna
            Namun diam-diam kita melewatinya dan
            membandingkan dengan tubuh kita yang kian renta?
 
 
          Di dinding terpajang beberapa bendera
          Penanda masa kejayaan kerajaan
          Lalu  aku bertanya dari manakah nama Sumbawa berasal
          Untuk mencocokkan dengan manuskrip
          yang  pernah kubaca alih aksaranya.
          “Di kotak kaca itu tersimpan manuskrip yang
          berubah menjadi pusaka tidak lagi pustaka,“
          jawab Pak Din dengan mata berkaca-kaca.
          (Hlm. 91)
 
Dalam menulis puisi saya sering pula mengungkapkan tentang nasib atau keberuntungan dan tidak keberuntungan yang dialami oleh seseorang. Misalnya dalam puisi “Ciamsi Si di Gunung Kawi“ berikut ini:
Penjual bunga seolah paling berjasa
Mengantar nasib dan keberuntungan seseorang
Tapi dia lupa nasibnya sendiri tak seharum bunga
Lalu mengapa ratusan orang berjalan meniti tangga
Mencari marwah dewa atau  menghibur hati luka?
 
Para peziarah bergantian mengharap ramalan baik
Setelah melihat nomor di bilah bambu dan menukarnya
Dengan selembar kertas berisi ramalan yang sulit ditafsirkan
Lalu meremasnya jika tak sesuai dengan apa yang diharapkan
Dan kembali menyerahkan kehidupannya pada kehendak Tuhan.
 
Di samping klenteng Dewi Kwam Im - semerbak asap dupa
Lilin-lilin kecil dan besar berwarna merah bergambar naga
Seperti deretan prajurit yang menjaga patung Buddha
Aku mencoba melihat keberuntungan melalui Ciam Si
Sebelum kabut gunung Kawi turun dan mengusirku pergi.
            (Hlm. 77)
 
Begitu pula misalnya keberuntungan dan ketidakberuntungan sebagai manusia yang dilahirkan dalam etnis tertentu. Atau sebagai pemeluk agama atau kepercayaan tertentu. Hal itu saya tulis dalam puisi berjudul “Pelabuhan Jiwa”  berikut ini:
 
Pelabuhan tak menujukkan suasana ketergesaan
aku mencoba melepas kepenatan dengan memandang lautan
puluhan pelajar mengantar suster dengan pelukan dan air mata
Mungkin patung Bunda Maria tersenyum melihat
akan terjadi perubahan di masa depan
dan aku teringat seorang ustadz mengajari cara
memotong ayam dengan mengucap bismillah.
 
Di tanah ini tentu bebas menentukan pilihan agama atau kepercayaan
tapi yang tak bisa ditolak adalah engkau akan lahir di mana?
Sebagaimana aku tak bisa menolak sebagai orang Jawa dan
engkau pun tak dapat menolak sebagai orang Maileppet
yang dengan tulus menyuguhkan kelapa muda.
 
Saat kapal mulai meninggalkan pelabuhan Maileppet
Terasa kakiku tak pernah merasakan berjalan terlalu jauh.
(Hlm. 73)
 
        Dalam menulis puisi pun saya juga kadang tidak terlalu “ndakik-ndakik” yang membuat pembaca kesulitan dalam memahami pesan yang disampaikan. Misalnya dalam puisi
“Jokpin, Tuhan, dan Khong Guan” berikut:
 
Ketika engkau membuka kaleng khong guan
betapa terkejut dirimu.
"Astaga, Tuhan berada di dalamnya!"
Bergegas aku ingin turut melihat isi kaleng khong guan.
 
"Aku ingin melihat-Nya juga!"
Engkau menyerahkan kaleng khong guan
dan aku membukanya
tercium harum vanila.
 
"Mana sih, kok aku tidak melihat Tuhan di dalamnya?"
Dengan nyengir engkau menjawab.
"Lho, Tuhan kan memang tidak kelihatan."
 
2024
 
Dalam proses kreatif sebagai seorang penulis puisi maka puisi itu tidak akan selalu berhenti untuk ditulis. Oleh sebab itu saya anggap penting sebagai landasan  filosofi dalam berkarya bahwa “Ngelmu iku Kelakone Kanthi Laku” (Serat Wedhatama karya K.G.P.A.A. Mangkunegara IV).
 
Sebagai puisi penutup saya pernah menulis puisi berjudul “Perempuan” yang menjadi kajian Sugihastuti, dosen FIB UGM, dalam kritik sastra feminis. Puisi seputar pertanyaan, “bagaimana perempuan dikonstruksikan berbeda dari, dan oleh laki-laki?”
 
Kucium bau peluh perempuan
Di udara terbuka
Matahari telah mendatangkan dahaga
Hingga tak tahu aku harus minum di mana?
 
Bau peluh perempuan
Terbang bersama layang-layang
Mengapa tak kujambak saja rambutnya
Dan mengikatnya di samping ranjang?
(Hikayat Kata, 2011: 75)
 
/3/
Permasalahan menjadi tidak sederhana  ketika sajak-sajak dibaca oleh orang lain, dengan pemahaman dan tingkat apresiasi yang berbeda-beda. Dengan demikian apa yang dikemukakan Roland Barthes bahwa “ketika teks terlahir, maka pengarang itu telah mati, dia lantas digantikan oleh pembaca yang bebas menafirkan teksnya.” Masalah tersebut tentunya di luar proses kreatif yang telah saya lakukan.
Secara leksikal penggunaan kata-kata dalam beberapa contoh pada kutipan puisi di atas berbeda-beda. Ada yang sederhana sebagaimana kata-kata dalam kehidupan sehari-hari dan ada yang bersifat referensial, asosiatif, dan metafora. Menulis puisi bagi saya  menjadi aktivitas  yang menarik sebab bisa tampil dengan perspektif yang berbeda-beda. 
 
Penulisan puisi bagi saya merupakan proses yang unik bagi setiap individu penulisnya. Semakin banyak pembaca yang mencoba memberikan interpretasinya, semakin banyak makna yang akan dimunculkan dari kehadiran puisi tersebut.
-o0o-
 
 
Bambang Widiatmoko, penyair berasal dari Yogyakarta. Kumpulan puisinya al. Mubeng Beteng (2020), Kirab (2021), Liat Pulaggajat (2022), Tetaplah Tidur Mendengkur (2024). Kumpulan esainya Jalan Cahaya (2022). Ikut menulis esai di buku al. Nyanyi Sunyi Tradisi Lisan (ATL, 2021), Esai dan Kritik Sastra NTT (KKK, 2021), Mencecap Tanda Mendedah Makna (FIB UI, 2021), Sastra, Pariwisata, Lokalitas (HISKI Bali, 2021), Antologi Kritik Sastra dan Esai (KKK. 2021), Jalan Sastra Lampung (DKL, 2022). Di Antara Gudang, Rumah Tua, pada Cerita (Gramedia, 2022), Oase di (Tepian) Kota (2023). Tribut Untuk Prof. Dr. Edi Sedyawati, Dari Ganesa Sampai Tari (Jakarta: BWCF, 2024). Bergiat di Asosiasi Tradisi Lisan (ATL). Pemegang sertifikat sebagai pengelola tradisi lisan oleh Kemdikbudristek. Menerima penghargaan dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek atas dedikasi 40 tahun berkarya dalam bidang kesastraan.

Berbagi Artikel