Penulis: Ni Wayan Idayati
Tidak banyak penulis yang mampu menulis prosa dan puisi dengan sama baiknya. Bahasa prosa cenderung lebih bebas, tidak terbatas rima, diksi maupun bait. Sementara pada puisi, penyair harus lebih ketat dan selektif memilih setiap kata atau diksi, bahasa yang padat justru menjadi kekuatan puisi.
Cyntha Hariadi boleh jadi adalah satu dari beberapa
penulis yang mampu mengolah bahasa prosa dan puisi bersamaan, bahkan mungkin mempertautkan
keduanya dengan amat piawai.
Puisi-puisi Cyntha
didominasi gaya naratif, namun padat dan tidak bertele-tele pada penggambaran
yang tidak perlu. Sementara gaya
penulisan prosa atau cerpennya tak luput dipengaruhi nuansa puisi yang
berindah-indah, hingga lompatan imajinasinya sewaktu menarasikan karakter
tokohnya.
Melalui dua buku karya Cyntha Hariadi, yakni “Manifesto
Flora” (kumpulan cerpen), dan “Ibu Mendulang Anak
Berlari” (kumpulan puisi), kita bukan
hanya dapat membaca kecenderungan tematik yang
terus dieksplorasi sang penulis,
namun juga bagaimana antara puisi dan prosa bertaut dalam rasa bahasa serta
gaya penulisannya.
Pada beberapa
puisi Cyntha, yang terangkum
dalam buku “Ibu Mendulang Anak Berlari” (Gramedia Pustaka Utama, 2016), kita
akan menemui kata-kata yang amat banal, bahkan mungkin tidak terlintas
dijadikan diksi dalam puisi. Namun Cyntha terbukti mampu mengolah kebanalan
tersebut menjadi diksi-diksi segar, tidak klise, serta imajinatif dan tidak
artifisial. Boleh jadi sebentuk kemungkinan kreatif baru dalam penciptaan
puisi.
Buku Ibu Mendulang Anak Berlari/Sumber: Goodreads |
Dalam “Manifesto Flora” (Gramedia Pustaka Utama,
2017), Cyntha
mampu mengolah karakteristik tokohnya dalam aneka latar dan sudut pandang.
Cerita dan konflik dinarasikan mengalir, meski pada beberapa judul dibutuhkan
lebih dari sekali untuk membaca dan memahami konteks atau latar belakang
psikologis si tokoh, serta pilihan sikap yang kemudian ditawarkan sang penulis.
Sejumlah cerpennya coba dihadirkan dalam
bingkai puitik, bahkan mungkin sebentuk prosa liris, seperti “Melankolia” yang
ditulis dengan penomeran bait. Akan tetapi upaya eksplorasi gaya penulisan
cerpen ini boleh dikata belum semenonjol capaian dalam karya puisinya. Meski
tetap harus diakui bahwa ada sebentuk lompatan kreatif dalam penggambaran
konflik dan penokohan pada cerpen-cerpennya, lapis psikologis lain dibandingkan
dengan karya puisinya.
Buku Manifesto Flora/Sumber: Goodreads |
Cyntha juga kuasa menghadirkan kepolosan
dan memainkan imaji sebagai seorang anak yang takjub pada hal-hal baru di
sekitarnya, seperti dalam puisi “Hutan Seribu Hektar”. Ia membawa diksi
sehari-hari, yang dekat dengan pengalamannya sebagai perempuan, sebagai ibu,
menjadi imaji universal bagi pembaca.
Sosok Perempuan dalam
Aneka Lapis
Karya-karya
Cyntha Hariadi, baik
cerpen maupun puisi, sama-sama berbicara soal sosok perempuan dalam aneka lapis
identitas, atau hubungan Ibu dengan Anak, serta dalam beragam konteks sang
penulis juga menghadirkan puisi atau cerita-cerita yang berlatar di luar negeri
–yang mana jelaslah tak tertepis bahwa latar itu boleh jadi merupakan sumber
ilham atau pengalaman nyata penulisnya. Melalui pembacaan tematik tersebut,
berikut ciri latar yang serupa –yakni beberapa bertempat di luar negeri, kita
juga dapat memahami kekuatan dari masing-masing karya-karya ini.
Buku “Manifesto Flora” merangkum 23 cerita
pendek. Tokoh-tokoh di dalamnya adalah sosok manusia sehari-hari, –orang-orang
dalam masyarakat urban dengan karakteristik yang sering kita temui, bahkan
mungkin kita sendiri. Mereka tergambarkan sebagai manusia-manusia yang menyimpan
berbagai kontradiksi, antara kemelut bathin dan pilihan sikap yang diambil atas
realitas yang dihadapi. Maka tidak mengherankan bila sewaktu membaca kisah-kisah,
konflik dan dilema yang dihadapi para tokoh ini, seolah tengah becermin pada
keseharian kita.
Dalam buku ini Cyntha cenderung
menghadirkan sosok perempuan yang dipenuhi keterasingan, hampa, kecewa dan
pengingkaran, pemertanyaan eksistensi, hingga soal “keperempuanan” itu sendiri.
Misalnya dalam cerpen “Amerika I” dan
“Amerika II”, di mana Aku dinarasikan sebagai tokoh yang mengalami kehampaan
serta keterasingan ketika berada jauh dari kampung halaman.
Cerpen “Amerika I” dibuka dengan narasi “… aku berharap diriku ikan. Ia sudah mati
ketika dibekukan dan masih ada orang yang mengunjunginya di lemari es.…”(Amerika
I, hal. 32).
Lalu pada halaman lainnya Cyntha menulis :
“…. Tidakkah mereka seperti diriku juga,
singgah kemudian betah? Asing kemudian biasa? Hilang kemudian menemukan diri
yang baru? “ (Amerika I, hal. 37-38).
Cyntha Hariadi menghadirkan pemertanyaan
soal definisi “keperempuanan” lewat “Setengah Perempuan I” dan “Setengah
Perempuan II”. Tentang seorang Ibu yang dirundung rasa bersalah karena anak
lelaki satu-satunya bangga menyebut diri “setengah perempuan”. Juga pergumulan
bathin istri yang dianggap belum menjadi perempuan seutuhnya lantaran belum
memiliki anak. Penulis seolah mengajak pembaca merenungi kembali soal konteks
“keperempuan” ; apakah hanya sebatas persoalan gender, kodrati, ataukah ada
hal-hal lebih dalam daripada itu –yang mungkin terangkum dalam definisi
normatif.
Dalam “Menifesto Flora”, Cyntha nampaknya
lebih tegas menyatakan pilihan sikap sang tokoh Flora, gadis 14 tahun, yang
merindu kehangatan dan kebersamaan keluarganya sebelum dipisahkan oleh
teknologi komunikasi. Ia dengan jelas menyatakan, “..semakin panjang setiap tut semakin jauh terasa mereka berada dan
semakin pendek harapanku agar mereka cepat pulang. Ketika kita bisa dihubungi
di mana saja, pulang menjadi tujuan terakhir, bukan utama.” (hal. 70).
Sementara keterasingan dan pengharapan
akan pengakuan atau eksistensi terbaca dalam cerpen “Rose”. Seorang perempuan
“pribumi” yang bersuamikan orang asing nan kaya tidak seketika menjadikan
Rosminah diakui dalam lingkungan sosial barunya. Ia bahkan merasa teralienasi
dari sang anak Maureen, yang lebih bangga berayahkan orang asing, dan
sebaliknya malu pada ibunya yang “pribumi”.
Berbeda dengan karakteristik tokoh yang
dihadirkan Cyntha dalam cerpen-cerpennya, buku puisi “Ibu Mendulang Anak
Berlari”, lebih banyak menghadirkan kegembiraan sekaligus kenaifan yang
menggelitik dan amat mempribadi. Buku berisi 62 puisi ini merupakan Pemenang
III Sayembara Manuskrip Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2015.
Puisi-puisi Cyntha Hariadi menggambarkan
dunia perempuan sebagai seorang ibu atau anak. Sosok perempuan yang dipenuhi
ketakjuban menjadi Ibu; momen melahirkan, mengasuh anak, hingga imaji dan
pengharapan akan masa depan sang anak –yang memang berangkat dari pengalaman
batin penulisnya sendiri (sebagaimana diungkapkannya dalam beberapa wawancara
media). Di saat yang lain, ia menjelma anak yang mengisahkan hari kelahirannya,
dan bagaimana ia juga akan bersiklus: /Ibuku
melahirkanku /sebagai seorang anak /anakku melahirkanku /sebagai seorang ibu
(Kelahiran, hal. 2).
Cyntha mampu melukiskan proses melahirkan yang
bersifat personal dengan pilihan diksi yang sederhana namun imajinatif. Selain
puisi berjudul “Kelahiran”, momen menjadi ibu juga digambarkannya dalam aneka
lapis pengalaman lain seperti “Cium Kepalanya!” atau “Dua Aku”, “Wajah Ini”, hingga “Ibu Mendulang Anak
Berlari”. Bahkan dalam puisi “Golem” –yang dalam mitologi disebut sebagai
mahluk raksasa aneh yang dibuat dari tanah liat dan dihidupkan untuk
melaksanakan semua perintah tuannya, masih terasa jejak kelahiran dan temali
Ibu-Anak.
Namun tentu Cyntha tidak puas hanya
bermain-main dengan kegembiraan menjadi perempuan. Ia tidak luput mengkritisi
peran domestik perempuan, khususnya dalam kecenderungan masyarakat urban kini.
Sang penulis mengkritisi tugas-tugas
domestik sebagai ibu rumah tangga yang berkutat dengan pekerjaan memasak,
bersih-bersih dan beberes, mengasuh anak, dan seterusnya. Sebagaimana ia
ungkapkan lewat puisi “Beres-Beres”, tidak saja menampilkan diksi-diksi yang
gamblang dan menohok, tapi ditulis dalam tipografi yang “berantakan”, yang mungkin
menjadi cerminan betapa jumpalitannya kehidupan sehari-hari perempuan sebagai
ibu rumah tangga.
Pada karya prosa Cyntha Hariadi tergambarkan
sosok perempuan yang lebih solider, sedangkan melalui puisinya terungkapkan sisi
pribadi yang sungguh soliter. Lewat kedua karyanya ini, Cyntha Hariadi
menawarkan sebuah narasi pendobrakan atas sekat normatif soal “keperempuanan”,
konsep tubuh, juga ranah domestik perempuan.