Penulis : Wahyu Ganesa Putra
Karakter dr. Jati dalam film “Tarian Lengger Maut” (sumber: youtube.com/visinema pictures) |
Seperti apa jadinya jika seorang
dokter di sebuah desa memiliki kelainan kejiwaan? Sosok dokter semacam itu dapat
ditemukan pada film berjudul “Tarian Lengger Maut” (2021) buah karya Yongki
Ongestu. Film hasil kolaborasi antara Visinema Pictures dengan Aenigma Pictures
ini baru saja dirilis di bioskop seluruh Indonesia pada tanggal 13 Mei 2021 kemarin.
Film yang berdurasi sekitar 70 menit itu merupakan film bergenre thriller dengan balutan budaya
Indonesia. Dua karakter utama dalam film ini adalah dr. Jati (Refal Hady) dan
seorang gadis desa belia bernama Sukma (Della Dartyan).
Film ini secara garis besar mengisahkan tentang dr. Jati, seorang dokter sekaligus seorang pembunuh berdarah dingin, yang bertugas di desa Pagar Alas. “Kecanduan” dr. Jati dengan organ jantung manusia membuatnya dipertemukan dengan Sukma, seorang penari Lengger desa tersebut. Alur cerita berfokus pada dinamika kedua karakter ini yang berbalut dengan suasana khas pedesaan, tarian Lengger, dan beberapa kali sayatan pada dada manusia.
Jantung para penonton dibuat berdegup cukup kencang ketika film mulai memainkan scene pertamanya. Bagaimana tidak, para audien disuguhkan satu proses yang cukup utuh dari pencabutan jantung seorang lelaki tua oleh seorang dokter, yang memiliki semacam kelainan kejiwaan. Suasana mencekam sekaligus ngilu mewarnai scene awal ini. Posisi audio dalam scene pertama dari film ini memegang peran penting. Hal itu karena kamera tidak dibuat sepenuhnya menampilkan proses pencabutan jantung yang dilakukan oleh dokter tersebut. Fokus kamera yang hanya memvisualkan ekspresi sang dokter sangat didukung oleh audio serta musik latar yang mengiringinya. Penjelasan sang dokter pada korbannya perihal jantung, sayatan pada kulit, suara gergaji mesin, dan suara detak jantung sang korban begitu menyiksa telinga. Scene ini berhasil memancing rasa penasaran untuk menyasikan film hingga scene terakhir.
Peran Sukma sebagai penari Lengger tidak tampak jelas sejak
awal film. Sukma yang tampak abu-abu terlihat dari bagaimana dirinya merasa
belum cukup mampu untuk menjadi penari Lengger. Ketidakjelasan perihal bagaimana posisi Sukma dalam film
ini akhirnya terpatahkan mendekati
akhir film. Yongki Ongestu sebagai sutradara sepertinya ingin memberikan
panggung terakhirnya dalam film khusus untuk karakter Sukma, yang mana
sekaligus menjadi sebab dari berakhirnya misteri hilangnya para penduduk desa
Pagar Alas.
Merah: Darah dan Nafsu
Poster film “Tarian Lengger Maut”(sumber: google) |
Mulai dari poster film “Tarian
Lengger Maut” sampai film ini selesai bercerita, warna merah selalu muncul dalam
berbagai cara dan media. Poster film ini menampilkan visual karakter Sukma
dengan pose seperti tengah menari menjadi objek tunggal, disertai unsur latar
belakang hutan, teks judul, dan kelengkapan poster lainnya. Penerapan warna
merah secara monokromatik dalam poster ini seakan memberi sinyal pertama bahwa
akan ditemui beberapa hal yang memiliki unsur warna merah lainnya seperti darah
di dalam film. Namun penyampaiannya ternyata tidaklah segamblang itu, melainkan
digunakan satu objek tunggal yang memang sangat berkaitan dengan darah yang
berwarna merah, yaitu jantung manusia, di mana
peran jantung sendiri dalam tubuh manusia adalah sebagai pemompa darah ke
seluruh tubuh. Namun apabila kembali diperhatikan, dalam poster film ini sudah
tertera satu kalimat singkat yang berbunyi “Jangan biarkan dia jatuh hati
dengan detak jantungmu”. Kalimat ini seakan menjadi petunjuk yang justru
mematahkan makna simbolik dari warna merah yang dominan dalam poster ini, yang
barangkali akan lebih misterius apabila kalimat tersebut tidak dituliskan pada
poster.
Cuplikan salah satu scene film “Tarian Lengger Maut” (sumber: youtube.com/visinema pictures) |
Selain itu dari segi desain produksi, terdapat satu scene di mana saat Sukma akan menari tarian Lengger di sebuah tanah lapang. Ketika Sukma akan muncul ke panggung, warna merah dari lighting di belakang Suksma memenuhi layar kamera, sehingga hanya menyisakan siluet dari Sukma dan beberapa hiasan panggung. Selain itu warna merah juga diaplikasikan pada selendang dan kain yang digunakan Sukma untuk menari. Selendang itu juga yang menjadi “pengikat” antara Sukma dengan dr. Jati. Scene ini adalah scene yang cukup indah hasil terjemahan sinematografer Benny Kadarhariarto dan Yongki Ongestu terhadap naskah film ini.
Dalam psikologi warna, warna
merah mengindikasikan emosi marah, bahaya, nafsu, dan juga cinta (Darmaprawira,
2002). Bahaya sudah diwakili oleh jantung setiap warga desa Pagar Alas yang
tengah dalam bahaya teror seorang pembunuh berdarah dingin. Adapun marah sudah
diwakili oleh kemarahan dr. Jati dengan Suksma yang divisualisasikan dalam
scene terakhir. Sedangkan untuk nafsu dan cinta, sudah diwakili oleh
ketertarikan dr. Jati dengan karakter Suksma. Barangkali nafsu dan cinta inilah
yang menjadi detak jantung dari film “Tarian Lengger Maut” itu sendiri.
Pembunuh Berdarah Dingin yang Jatuh Cinta
Sayangnya dalam film ini tidak terlalu dijelaskan secara eksplisit mengenai latar belakang dr. Jati. Penonton hanya diberikan gambaran singkat tentang masa lalunya yang nampak cukup suram. Dugaan atas kekerasan ayahnya di masa lalu itulah yang mungkin membentuk kepribadian dr. Jati yang terlihat jelas begitu dingin dan begitu gemar “mengoleksi” jantung manusia.
Cuplikan salah satu scene film “Tarian Lengger Maut" (sumber: youtube.com/visinema pictures) |
Ending kisah dari dr. Jati
dengan Suksma sudah menjelaskan bagaimana akhir yang ideal bagi film ini.
Bagaimana dr. Jati yang begitu
tertarik dengan Suksma, sehingga ia tidak dapat mengendalikan detak jantungnya
sendiri adalah sebuah indikasi bahwa dr. Jati
tidak dapat memahami perasaannya sendiri. Bisa saja perasaan itu adalah nafsu,
atau mungkin juga cinta. Apabila dikaitkan dengan tulisan yang terdapat pada
poster film, seperti yang sudah dibahas diatas, bisa saja dr. Jati malah “jatuh hati” dengan suara detak
jantungnya sendiri, yang setiap melihat Sukma selalu berdetak begitu kencang.
Namun kembali lagi, semua itu tergantung pada interpretasi para penonton film ini masing-masing.