Penulis : Ni Wayan Idayati
Ibarat
sebuah cerita, hidup seseorang kerap kali tak terduga alurnya, semua serba
penuh kejutan. Apa yang dulu dicita-citakan seringkali berbeda akhirnya dengan
apa yang ditempuh kini. Siapa sangka, arkeolog dan sempat menjadi guru di SMA
Negeri 2 Denpasar ini justru bisa berkeliling dunia serta meraih aneka
penghargaan berkat keahliannya bertutur atau mendongeng.
Dijumpai
di kediamannya, di daerah Suwung Kangin, Denpasar, Made Taro yang usianya telah
sepuh benar, 82 tahun, masih tetap bersemangat dan pikiran-pikiran kreatifnya
tak henti mengalir. Dengan antusias ia menunjukkan foto-foto lawatannya ke
manca negera untuk mendongeng dan memberikan workshop storytelling untuk orang dewasa dan anak-anak. Di sana nampak pula
kenangan kehangatannya dengan sosok Pak Raden, tokoh pendongeng yang ngetop di
televisi pada era 90-an.
Kecintaan
lelaki kelahiran desa Sengkidu, Karangasem, tahun 1939 ini terhadap dongeng telah tumbuh sedini
kanak. Dongeng telah menjadi kisahan sehari-hari menjelang tidur yang ia
peroleh dari sang ayah dan hingga kini masih lekat membekas dalam dirinya.
Lebih
dari tiga puluh tahun sudah Made Taro mengabdikan hidupnya untuk mendongeng,
meneruskan cerita-cerita rakyat, gending rare (lagu anak-anak) dan permainan
tradisional kepada generasi-generasi muda kini. Atas dedikasinya yang tiada
henti itu pula ia memperoleh Lifetime Achievement Award Ubud Writers and
Readers Festival atau UWRF 2019.
Made
Taro berujar, kehidupan masa kanaknya di Sengkidu dahulu sangat jauh berbeda
dengan kebiasaan anak-anak masa kini. Bila dulu ia kerap menghabiskan waktunya
dengan bermain pindekan (baling-baling), gundu dan cingklak yang dibuat
sendiri, anak-anak zaman sekarang telah lebih mudah; mereka bermain melalui
gadget dan aplikasi-aplikasi game yang telah banyak tersedia. Tak ketinggalan
juga dongeng-dongeng rakyat dan cerita anak lainnya dapat ditemukan melalui
penyedia aplikasi online.
Kecanggihan
teknologi visual, multimedia tak membuat Made Taro berkecil hati, ia bahkan
optimis bahwa dongeng, gending rare
dan permainan-permainan tradisional Bali akan terus ada, berkembang melalui
media yang lain. Ia mengungkapkan, sebagai orang kreatif, kita tak usah gusar
dengan percepatan globalisasi, justru kita harus mampu mendayagunakan teknologi
tersebut untuk mempertahankan nilai-nilai kultural kita. Made Taro juga menyebut
bahwa telah banyak mahasiswa pendidikan teknologi dan audiovisual yang
mendatanginya untuk mengembangkan aplikasi yang berangkat dari dongeng,
lagu-lagu anak dan permainan-permainan tradisional yang ia buat.
Kembali
ke tahun 1968, Made Taro mengenang bagaimana mulanya ia mendirikan Rumah
Dongeng, sebuah ruang yang dia dedikasikan untuk memberikan dongeng kepada
anak-anak di sekitar lingkungan tinggalnya, di asrama dinas SMA Negeri 2
Denpasar, Jl. Kartini, Denpasar. Rumah dongeng ini buka setiap malam Minggu, di
sanalah anak-anak yang merupakan penggemar setia dongengan Made Taro datang dan
berkumpul. Uniknya, sembari mendengarkan dongeng anak-anak juga diajak bermain
peran, ada yang seolah-olah menjadi penjaga loket karcis, penyobek tiket, dan
semua dilakukan bergilir. Yang pastinya, biaya tiket dan lain-lain itu hanya
ada dalam angan-angan.
Mengapa
ia memilih mendongeng?
“Saya
tertarik dengan teori filsuf Inggris, McClelland. Ia melakukan penelitian dan
menyimpulkan bahwa kalau kita tanamkan dongeng itu sekarang, hasilnya dipeting
25 tahun mendatang. Saya banyak menggubah dongeng Bali agar berisi kebutuhan
berprestasi (need for achievement) dan membuat anak percaya diri, “ tutur Made
Taro yang pernah enam bulan mengajar di Darwin, Australia.
Menurutnya
sastrawan peraih penghargaan Rancage tahun 2005 ini, seorang penulis dongeng
bertanggungjawab untuk meluruskan isi dongeng tersebut. Lanjutnya, dongeng bisa
saja memiliki berbagai versi, namun yang tidak boleh hilang adalah makna dari
dongeng itu sendiri.
Ia pun
menuturkan bahwa selama ini untuk menulis kembali atau menciptakan
dongeng-dongeng berdasarkan ingatan-ingatan dari dongeng sang ayah, buku-buku
dan juga dari diskusi dengan narasumber. Sebab itu pula, ia menyebut beberapa
dongengnya sebagai dongeng teologis, yakni mencoba menjernihkan atau menjawab
berbagai mitos dan pertanyaan sebab akibat dari dongeng-dongeng di Bali yang
selama ini belum terjelaskan.
Kukuruyuk Hingga Manca Negera
Bermula
dari dongeng pula, Made Taro kemudian mengumpulkan dan memodifikasi
permainan-permainan tradisional Bali, termasuk juga lagu-lagu anak-anak
(gending rare). Beberapa bahkan ada yang ia ciptakan sendiri terinspirasi dari
kisah-kisah dongeng.
Setidaknya
terdapat 200 jenis permainan anak-anak tradisonal Bali dan 225 lagu anak-anak
yang telah berhasil ia kumpulkan.
“Perenungan
saya akan aneka permainan yang diiringi lagu-lagu anak-anak mendorong saya
untuk mengabadikannya dalam buku. Selain untuk dapat dinikmati oleh lebih
banyak anak-anak, harapan saya buku ini juga menjadi tambahan pengetahuan bagi
para orang tua yang telah cukup jauh terpisah dengan aneka kekayaan seni
tradisi mereka, “ ujar Made Taro.
Buku
pertamanya, Ibu Jari untuk Sang Guru (1973), lalu disusul Gending-Gending
Plalian Bali dan diikuti terbitnya buku-buku lainnya. Hingga ini Made Taro
telah menerbitkan 36 buku seri dongeng dan permainan tradisional. Salah satu
yang istimewa adalah buku Bawang Kesuna (Onion and Garlic) yang terbut tahun
1997, hadir dalam format bilingual dan dilengkapi ilustrasi arya I Ketut Nama.
Buku terbitan Balai Pustaka ini meraih penghargaan Adikarya IKAPI pada tahun
1998.
Menurut
suami dari Wayan Wati ini, ada kegairahan tersendiri ketika ia menulis dongeng,
baik yang bersumber dari ingatan-ingatan cerita yang didongengkan ayahnya
semasa kecil, buku, maupun kisah-kisah
ciptaannya sendiri.
Beberapa
alat musik tradional yang diciptakannya di antaranya tumbung, toktek, dan
kempli. Umumnya kempli dibuat dari perunggu atau logam, hanya saja ia lebih
senang menggunakan bambu.
Kepiawaiannya
mendongeng tak ayal mengantarkan Made Taro menjejakan kaki ke manca negera,
antara lain ke Darwin, Afrika Selatan dan beberapa negara Asia seperti
Singapura, Malaysia dan Thailand.
Pengalamannya
melawat ke luar negeri tak jarang juga menimbulkan inspirasi Made Taro untuk
menciptakan dongeng atau permainan tradisional.
Ia juga menyebut bahwa di luar negeri, seorang pendongeng memiliki
tempat yang istimewa di masyarakat. Di Singapura bahkan orang-orang dewasa
beramai-ramai datang dan rela membeli tiket hanya untuk menyaksikan pertunjukan
mendongeng.
Rupanya, kegigihannya dalam berkarya dan mengembangkan tradisi dongeng
memperoleh apresiasi dari banyak pihak. Terbukti melalui berbagai penghargaan
yang disematkan padanya, antara lain; Anugerah Bali Award 2001, Anugerah
Permata 2003, Pengharagaan Sastra Rancage 2005, Hindu Books and Readers
Community 2006, Widya Pataka 2007, K. Nadha Nugraha 2008, Penghargaan Maestro
Tradisi Lisan dari Kementerian Kebudayaan dan Parwisata 2008, Anugerah Kebudayaan
Presiden RI 2009 dan lain-lain.
Kala
menjadi pengajar di SMA Negeri 2 Denpasar, Made Taro juga aktif membina
anak-anak di Teater Si Paku-Paku. Pada tahun 1978, teater Si Paku-paku
memperoleh ruang untuk mengisi acara pementasan lagu dan operet di TVRI Denpasar.
Mereka tampil membawakan Nyanyian Gagak, Hidup lan Mati, Kembang dan Selip.
Setelah
berhasil menghidupkan Teater Si Paku-paku, Made Taro pun tak ketinggalan
membentuk Sanggar Kukuruyuk, yakni teater yang khusus diperuntukkan bagi
anak-anak. Kok namanya Kukuruyuk?
“Kukuruyuk
itu bagi saya adalah lambang optimisme, tiruan suara ayam jago di pagi hari.
Suara ayam ibarat menyanyikan sukacita menyambut datangnya fajar untuk memulai
hari. Hal itu sama seperti harapan saya bagi Sanggar Kukuruyuk, “ ungkap Made
Taro.
Lebih
lanjut, Made Taro menjelaskan bahwa kehadiran Sanggar Kukuruyuk ini sangat erat
dengan perkembangan anak. Di sanggar ini, dunia anak yang masih universal dan
imajinatif dikembangkan melalui kreativitas yang kemudian melahirkan aneka bentuk
dan rupa kebhinnekaan. Mengikuti jejak teater remaja Si Paku-paku, Sanggar
Kukuruyuk juga sempat berpentas di TVRI Bali, pertama kali membawakan lakon
“Kaki Cubling”.
Kini
meski tidak lagi menggiatkan Sanggar Kukuruyuk di rumahnya seperti dulu, Made
Taro tetap aktif membina ekstrakurikuler di tiga SD di Denpasar. Sesekali ada
kelompok anak-anak yang datang belajar memainkan musik tradisional dan
sebagainya. Ia juga masih kerap menulis untuk kolom berbagai media cetak.
Bagi
Made Taro, mendongeng telah menjadi bagian dari hidupnya. Hingga saat ini ia
masih terus diundang untuk mendongeng atau memberikan workshop ke sejumlah
daerah di tanah air dan luar negeri, termasuk diundang sebagai salah satu
panelis dalam Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) di Ubud.
Ya,
begitulah. Alur atau kejutan kini tak lagi penting buat Made Taro. Ia telah
cukup dengan menghabiskan masa senjanya di daerah Suwung (yang berarti sepi,
sunyi), namun tak sekali pun kehilangan keriuhan dan kehangatan masa
kanak-kanaknya. Sesungguhnya kehidupan Made Taro ialah dongeng itu sendiri;
bermula dari perjuangan dan kegigihan, lalu berakhir dengan bahagia.