Lima dara muda berbagi gerak puitik dari minimalis ke dinamis, sehingga tubuh menjadi sebentuk metaforis, cerminan latar sosial kultural Jailolo, Halmahera, Maluku Utara, tanah kelahiran mereka.
Pertunjukan ini, berlangsung pada Selasa, 12 Desember 2017, adalah buah proses penemuan Eko yang bukan semata mendekonstruksi bentuk dan irama tarian Soya-soya dan Cakalele, tetapi juga mengandung pesan mendalam perihal upaya melampaui budaya patriarki setempat yang hirearkis.
Tarian yang biasanya dimainkan laki-laki, esensi gerak tubuhnya mendasari komposisi Balabala. Boleh dikata adalah ibarat sisi mata uang lain dari tarian ‘Cry Jailolo’ yang dimainkan sepenuhnya oleh para penari lelaki.
Sepanjang pertunjukan, sekitar 60 menit, kelima penari itu melepas bebas ruang. Tubuh-tubuh mereka hadir dalam suatu keutuhan yang menyeluruh, terkadang dengan hentakan kaki yang ritmis serta tangan yang seakan tengah mengayun tombak atau perisai, merefleksikan kemaskulinan atau kegagahan.
Kelima dara muda penari itu, Siti Sadia Akil Djalil, Yezyuruni Forinti, Dian Novita Lifu, Trisya Novita Lolorie, dan Siti Faradailla Buchari.
Seluruh tubuh mereka luluh dalam alur dramaturgi yang dirancang oleh Arco Renz, di bawah limpahan cahaya dan skenografi dari Iskandar K. Leodin, serta pilihan kostum bersahaja bauran warna dasar hitam kelabu dan biru namun imajinatif ciptaan Oscar Lawalata dan Erika Dian.
Balabala adalah sebuah repertoar tari, dipersiapkan selama 12 bulan, menggambarkan pergulatan panjang Eko Supriyanto sebagai koreografer.
Boleh dikata, alur pertunjukan, ragam gerak, serta gestur tubuh keseluruhan adalah hasil penemuan diri Eko yang menangkap esensi gerak universal pada tari tradisi Halmahera berikut penjelajahan kreatifnya selama ini yang ulang-alik barat dan timur.
Melampaui tradisi, tari ini unik dan otentik serta berhasil mengelak dari klise eksotisme.
Sejak kecil, Eko Supriyanto telah mendalami tari Jawa dan silat, itu pula yang mengantarnya menjadi bagian dari pentas Drowned World Tour Madona (2001), konsultan untuk musikal The Lion King (2000) karya Julie Taymor.
Melampaui tradisi, tari ini unik dan otentik serta berhasil mengelak dari klise eksotisme.
Sejak kecil, Eko Supriyanto telah mendalami tari Jawa dan silat, itu pula yang mengantarnya menjadi bagian dari pentas Drowned World Tour Madona (2001), konsultan untuk musikal The Lion King (2000) karya Julie Taymor.
Ia meraih pengakuan internasional sebagai koreografer karena kuasa mensublimasi esensi gerak dari latar kultur, melampaui barat atau timur, hingga penemuan bahasa tubuh yang universal.
Tidak heran, bila sepanjang Europalia 2017 ia didaulat menampilkan tariannya di banyak venue di Belgia, Perancis, dan Jerman, antara lain: Centre for Fine Arts, BOZAR - Brussels, Cultuurcentrum - Lokeren, STUK- Leuven, De Warande Kuub – Turnhout, Theater im Pumpenhaus - Münster, Vooruit – Gent, dan Le Safran – Amiens, deSingel – Antwerpen, Kaaitheater – Brussels, dan CC Evergem – Sleidinge.
Tidak heran, bila sepanjang Europalia 2017 ia didaulat menampilkan tariannya di banyak venue di Belgia, Perancis, dan Jerman, antara lain: Centre for Fine Arts, BOZAR - Brussels, Cultuurcentrum - Lokeren, STUK- Leuven, De Warande Kuub – Turnhout, Theater im Pumpenhaus - Münster, Vooruit – Gent, dan Le Safran – Amiens, deSingel – Antwerpen, Kaaitheater – Brussels, dan CC Evergem – Sleidinge.
“Memang, dalam upaya penemuan diri, seniman-seniman Indonesia kini, melalui karya-karyanya harus kuasa melampaui pandangan klise eksotisme dan orientalis selama ini.
Warisan tradisi bukan hanya harus diagungkan dan ditafsir, namun harus diolah melalui pergulatan penciptaan yang intens agar menghasilkan karya yang otentik dan mempribadi serta lintas batas atau universal,” ujar Eko Supriyanto, seusai pertunjukan di tengah applause publik yang tak henti.
Ia juga menyampaikan keyakinannya bahwa bila penemuan diri itu sudah berhasil dicapai, karya seniman yang bersangkutan akan diterima oleh publik luas lintas bangsa.
“Karya saya tampil di banyak venue atas pilihan kurator Europalia dari Indonesia dan Eropa, juga mendapat dukungan pembiayaan yang tidak hanya dari pemerintah Indonesia namun juga lembaga-lembaga kesenian luar negeri,” katanya.
Budayawan Sardono W. Kusumo yang juga koreografer mumpuni, menyampaikan pujian kepada Eko Supriyanto.
“Karya-karya mereka memang berakar dari keseharian kultur masing-masing, namun warisan tradisi itu tidak lagi sebagai identitas yang membebani, hadir sebagai ekspresi yang natural di atas panggung.
Ini juga keberhasilan kita di Europalia, di mana kurator-kurator, baik dari Eropa atau Indonesia, dimungkinkan bekerjasama dengan setara dan intens tanpa arahan berlebih yang membatasi dari pemerintah.
Muhibah budaya kali ini memang sudah berbeda zamannya dengan era-era sebelumnya, terasa ada kebebasan berekspresi, serta melalui proses kurasi yang berangkat dari kenyataan capaian kini,” ujar Sardono W. Kusumo yang pada Europalia justru menampilkan film-film dokumentasi karyanya tentang sosok seniman mumpuni Nusantara.
Atase Penerangan RI Brussels, Puguh Priambodo, menyampaikan bahwa Festival Europalia 2017, di mana Indonesia sebagai negara tamu kehormatan, telah dipersiapkan sedini tahun 2013.
Sedini itu juga, Kedutaan Besar Indonesia di Brussels turut berperan serta, mengingat festival ini terbilang strategis dan mendapat perhatian publik luas mayarakat Eropa.
”Ya, hampir semua Kementrian terlibat dalam persiapan ini, terutama Kemetrian Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Ekonomi Kreatif, Kementrian Pariwisata, dan tentu Kementrian Luar Negeri.
Ini festival yang strategis dan berdampak luas hingga masa mendatang, terutama dapat mempresentasikan bahwa Indonesia itu memiliki kekayaan dan keragaman kultural yang luar biasa sekaligus masyarakatnya pluralis,” ungkap Puguh Priambodo.
Ya, terbukti melalui Balabala dan Europalia, kekayaan kultural masyarakat Halmahera dapat menyapa dan mempesona Eropa. (w wisatsana)
Berbagi Artikel