Meski teknik dasar tersebut telah kita kenal sejak kecil, kita masih merasa awam terhadap seni grafis. Masih tersisa jarak yang melintangi ketidaktahuan kita akan proses kreatif para pegrafis selama ini.
Pada Selasa (23/4) di Bentara Budaya Bali, Jl. Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, No. 88A, Ketewel, telah dilaksanakan Lokakarya Seni Grafis bersama para pegrafis yang tergabung dalam Komunitas Studio Grafis Undiksha, Singaraja.
Lokakarya ini merupakan rangkaian dari Pameran Seni Grafis bertajuk EXPLORA(C)TION yang telah dibuka secara resmi pada 13 Mei 2017 lalu.
Pameran ini menghadirkan sejumlah 66 karya grafis oleh sejumlah 19 pegrafis antara lain: Hardiman, Kadek Septa Adi, I Nyoman Sukerta Yasa, I Putu Aditya Diatmika, Ni Luh Pangestu Widya Sari, I Gede Riski Soma Himawan, Ni Luh Ekmi Jayanti, Dewa Made Johana, Gde Deny Gita Pramana, Irma Dwi Noviani, I Kadek Budiana, I Putu Nana Partha Wijaya, I Kadek Susila Priangga, Mirza Prastyo, Pande Putu Darmayana, I Nyoman Putra Purbawa, Saupi, I Gede Dwitra Natur Artista, Kholilulloh.
Melalui lokakarya ini, kurator pameran, I Made Susanta Dwitanaya dan salah satu pegrafis muda, I Nyoman Putra Purbhawa, memandu rasa ingin tahu peserta yang sebagian besar merupakan mahasiswa.
Berlatih Teknik Cukil
Teknik yang coba diperkenalkan dalam lokakarya ini ialah linocut atau cukil kayu. Teknik ini menggunakan selembar karet lino berwarna coklat muda berukuran 18 x 24.5 cm, sebagai alas bagi guratan imaginatif para peserta.
Berbagai ikon gambar pun ditorehkan dengan pena. Setelah ikon rampung dibentuk, selanjutnya peserta diajarkan cara mencukil lino menggunakan pisau cukil yang ujungnya berbentuk setengah lingkaran.
Teknik mencukil ini memerlukan perhatian pada pemilihan diameter pada pisau cukil, agar ketebalan dan kedalaman hasil cukil sesuai dengan kebutuhan. Para peserta pun tampak antusias menyelesaikan misi mencukil setiap guratan garis lurus dan lengkung yang membentuk karya mereka.
Selanjutnya, peserta dipersilakan mewarnai gambar dengan melumuri lembaran lino menggunakan tinta cetak berwarna hitam legam. Proses pewarnaan ini dilakukan menggunakan rol berbahan dasar karet.
Liuk-liuk gambar yang tercukil akan terbebas dari lumuran tinta hitam, sehingga guratan-guratan yang membentuk ikon gambar akan terlihat jelas.
Proses akhir dari teknik cukil ini ialah mencetak gambar yang telah dilumuri tinta di atas selembar kertas HVS, dengan cara menekan kertas menggunakan sebuah sendok makan secara merata.
Maka terciptalah berlembar-lembar hasil karya seni grafis dengan berbagai ikon gambar yang bernuansa hitam putih. Proses kreatif seni grafis dengan teknik linocut ini sesungguhnya dapat dilakukan oleh penikmat seni grafis lainnya.
Dengan bermodal bahan-bahan pendukung seperti lembaran karet lino, pena, tinta cetak, sendok makan, dan kertas HVS, satu imaginasi visual akan rampung dihadirkan sebagai sebuah karya seni grafis.
Meskipun masih terdapat beberapa teknik seni grafis lainnya dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi.
Namun setidaknya melalui Lokakarya Seni Grafis oleh Komunitas Studio Grafis Undiksha ini, masyarakat dapat mengikis sedikit demi sedikit jarak yang selama ini membuat mereka asing dengan keberadaan dari seni grafis di Bali.
Keterasingan seni grafis di Bali juga ditekankan pada sesi Diskusi Seni Grafis dengan tema ‘Seni Grafis dalam Pendidikan Seni’, pada hari yang sama, sesaat setelah sesi lokakarya berakhir.
Kurator pameran, I Made Susanta Dwitanaya mengatakan bahwa, pewacanaan yang minim seputar seni grafis di ruang-ruang publik di Bali, menyebabkan seni grafis tidak sehingar-bingar cabang seni rupa lainnya.
Di Bali, gaung seni grafis memang belum begitu terdengar layaknya seni lukis. Padahal generasi muda penerus seni grafis di Bali, boleh dikata cukup potensial dalam bereksplorasi.
Seperti para pegrafis muda dari Bali Utara yang tergabung dalam Komunitas Studio Grafis Undiksha, Singaraja, bersama-sama mencoba menghadirkan karya seni grafis mereka dengan keberanian teknis yang tak lazim.
Sebagai tenaga pengajar di Program Studi Seni Rupa Undiksha, seniman sekaligus kurator, Hardiman, yang malam itu juga hadir sebagai narasumber, menyatakan bahwa sebagian mahasiswanya yang turut berpameran kali ini melakukan berbagai eksplorasi medium dan teknik.
“Seni grafis seharusnya dicetak dengan menggunakan mesin, namun di Bali masih manual menggunakan sendok makan. Bahkan, ada juga yang menggunakan botol” jelas Hardiman.
Seperti yang dilakukan oleh pegrafis Dewa Made Johana dalam karyanya yang berjudul ’Penuh Sesak’. Ia melakukan teknik press menggunakan botol dan kaki beberapa orang temannya untuk memperoleh jejak etsa.
Teknik tersebut semestinya dilakukan menggunakan mesin press khusus karya etsa yang berbobot sangat berat dengan tekanan yang telah ditentukan. Lain halnya pegrafis Ni Luh Pangestu Widya Sari, yang melakukan proses pencetakan di atas kain Oxford pada karyanya yang diberi judul ‘Kata Mereka’.
Pada dasarnya, teknik tersebut rawan menimbulkan hasil cetak berbayang bila kain mengalami sedikit saja gerakan, maka ia pun menanggulangi hal tersebut dengan menyeterika kain terlebih dahulu.
Terdapat pula teknik pemindahan gambar dari desain ke hardboard menggunakan Zat Terpentin dari kandungan minyak urut dan pelembab anti nyamuk pada beberapa karya grafis yang juga ditampilkan dalam Pameran EXPLORA(C)TION ini.
Eksplorasi dalam hal gagasan, medium dan teknik itulah yang coba dibingkai dalam kuratorial pameran seni grafis kali ini. Eksplorasi yang sesungguhnya cukup kaya untuk diperkenalkan dalam dunia seni grafis yang tak jarang memunculkan wacana perihal medium.
Sehingga berbagai eksperimen yang dihadirkan oleh pegrafis muda dalam EXPLORA(C)TION ini dapat menjadi capaian sekaligus pembuktian bahwa karya seni grafis dapat diwujudkan menggunakan medium alternatif.
Eksplorasi berkarya seperti yang telah diperkenalkan oleh Komunitas Studio Grafis Undiksha, Singaraja tentu akan menemukan geliatnya bila semangat ini direspon oleh institusi pendidikan seni di Bali.
Saat ini masih belum ada institusi pendidikan yang memiliki program studi ataupun jurusan yang khusus seni grafis.
Seni grafis baru menjadi mata kuliah dengan jumlah SKS yang minim, ataupun baru menjadi salah satu pilihan konsentrasi pada mata kuliah Tugas Akhir seperti yang diterapkan di Prodi Pendidikan Seni Rupa Undiksha Singaraja. (Siswan Dewi)
Artikel ini pernah dimuat di Harian Tribun Bali Mei 2017
Berbagi Artikel