Namun di sisi dinding lainnya, terhampar pula rangkaian mural kaca atau fresko, menghadirkan sosok-sosok manusia Jawa berikut atribut busana dan blangkonnya yang khas.
Rupanya bukan hanya gedung pertunjukan atau ruang galeri, ternyata karya seniman Indonesia juga tampil di ruang publik, sebagaimana di Muntpunt ini, di Jalan Place de la Monnaie 6, Bruxelles, Belgia.
Sambil meresapi karya perupa kontemporer Indonesia, Prihatmoko Moki (35) tersebut, dengan narasi manusia Jawa yang komikal serta mengandung berlapis arti; antara ironi, pemertanyaan jati diri, sesekali kita akan menyaksikan bus kota melintas, dihiasi poster Europalia, serta tertera pula kata Indonesia.
Cuaca dingin minus 4 derajat serta rinai salju yang menggigilkan, sesaat tertepis oleh hangatnya kebanggaan. Melalui karya mural komikalnya tersebut, Prihatmoko Moki, seniman muda lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta, terpilih menghadirkan sisi budaya kontemporer Indonesia.
Sosok-sosok komikal tersebut ditampilkan di dinding kaca, melalui teknik bergaya clear line sebagaimana dikembangkan seniman Herge, kebanggaan Belgia, pencipta tokoh Tintin yang melegenda itu.
Memang, laiknya perupa muda terkini, Moki terbiasa bekerja lintas bidang. Tak hanya komik, beragam seni visual pun diminati, semisal seni grafis dengan cetak saring dan sablonnya, bahkan musik pun jadi pilihan media ekspresinya.
Sheila Rooswita berkolaborasi dengan Peter Van Dongen, seniman asal Amsterdam, menampilkan ilustrasi Jakarta zaman kolonial disandingkan dengan visualisasi Jakarta masa urban kini di Wittockiana Museum.
Adapun Yudha Sandhy mengambil tajuk ‘Atom Jardin’ memanfaatkan kelenturan kertas tertentu dengan pendekatan sejenis teknik cukil kayu.
The Soldiers Without A King
Menurut Moki, rangkaian visual komikal manusia Jawa di Europalia ini adalah bagian dari proyek seni rupanya bertajuk “The Soldiers Without A King” atau “Prajurit Kalah Tanpa Raja” yang sudah dirintis sejak tahun 2015.
“Saya mencoba menggambarkan melalui mural dengan bahasa visual komikal tentang kota tempat saya tinggal, Yogyakarta.
Prihatmoko Moki (Foto: Biennale Jogja) |
Kota berubah menjadi semakin tidak ramah kepada para penghuninya,” ujar Prihatmoko Moki, Finalis Redbase Young Artist Award 2016. Bekerjasama dengan penyair Gunawan Maryanto yang juga sutradara Teater Garasi Yogyakarta, karya-karya mural Moki hadir di berbagai sisi kota ini.
Secara khusus, menghadirkan visual prajurit-prajurit Keraton Yogya sebagai metafora bagi warga atau masyarakat yang mengalami disorientasi akibat percepatan perubahan kota tanpa kehadiran sang raja.
Rangkaian mural karya Prihatmoko Moki, dapat dilihat di berbagai tempat di Yogyakarta. Misalnya, di pos kamling di Kampung Minggiran, menampilkan sosok prajurit Keraton dengan wajah terlihat sedih, seolah putus harapan.
Terdapat mural bergambar beberapa prajurit Keraton, wajah mereka tampak sedih, seolah kehilangan harapan. Dada mereka tertancap anak panah, seolah menggambarkan pasukan yang kalah.
Hampir serupa dengan itu, terdapat juga prajurit yang dipapah oleh rekannya berikut puisi karya Gunawan Maryanto, “Siapa lagi yang berjaga, Setelah kami tak ada”.
“Yogyakarta seperti bukan lagi kota budaya, di mana warganya seharusnya bisa hidup tenteram, menghargai budaya, serta menjunjung tinggi tepo seliro. Wajah kota sudah berubah tergerus kapitalisme,” tambah Prihatmoko Moki, yang juga kerap mengikuti proyek kolaborasi lintas bangsa, semisal di Vietnam, Sidney, dan Kuba.
Serangkaian mural “Prajurit Kalah Tanpa Raja” itu bermula dari Pameran Indonesia Berkabung yang mengekspos beragam permasalahan di Indonesia, mulai dari kasus korupsi, kerusakan lingkungan, berbagai kriminalisasi, dan sebagainya.
Selain divisualkan sebagai mural, Moki juga menyusunnya menjadi sebentuk komik atau cerita bergambar yang dia unggah ke sosial media.
Dinamika Seni Ruang Publik
Seni ruang publik di Yogyakarta juga Indonesia, tak bisa dilepaskan dari keberadaan Apotik Komik, yang didirikan 25 April 1997, diinisiasi oleh Samuel Indratma, Bambang ‘Toko’ Witjaksono, dan Arie Dyanto. Kehadiran komunitas ini ditandai aktivitas pertama mereka “Pameran Komik Dinding”, sebuah mural seluas 700 meter x 2 meter yang mendapat reaksi luas dari masyarakat, termasuk para seniman dan budayawan juga pengamat sosial.
Seturut itu pula, hadir karya mereka berupa komik cetak yang didistribusikan secara manual. Prihatmoko Moki tentu sedikit banyak kreativitasnya lahir dari dinamika seni ruang publik komunitas tersebut. Memang, era reformasi yang ditandai kebebasan kreativitas, mendorong seniman-seniman muda berekspresi langung di tengah masyarakat dengan tematik menyentuh langsung problematik sosial sekitar.
“Moki merupakan salah satu perupa muda yang saya kagumi. Dia multitalenta, bahkan juga pemain musik yang bagus, drummer. Grup band-nya kreatif dan menawarkan hal yang alternatif. Dan dia juga pernah terlibat dalam proyek mural yang saya bikin, yakni ‘Midnight Mural Project’ atau Mural Lingsir Wengi 2005,” ujar Samuel Indratma sambil mengungkapkan bahwa proyek itu digagas oleh Jogja Mural Forum berlokasi seputar areal pertokoan dekat Taman Budaya, tak jauh dari Malioboro.
Samuel Indratma menyampaikan, perupa-perupa muda kreatif seperti Moki, lahir karena dinamika dunia senirupa Yogyakarta yang memungkinkan terjadinya pergaulan atau persinggungan yang lintas batas, guyub, hangat, serta intens. Kecenderuangan seni ruang publik ini memang mengedepankan sikap kritis berikut tampilan visual yang sugestif dan imajinatif, pemirsa atau masyarakat seketika dapat meresapi pesan yang disampaikan para kreatornya.
Samuel Indratma (Foto: dok. Pribadi) |
Sejak kehadiran Apotik Komik yang secara cerdas menggali tema-tema seputar kata apotik dan sakit, terbuka luas kemungkinan penciptaan mural di Yogyakarta, serta mewujudkan tujuan utama komunitas ini, yakni mendorong partisipasi dan apresiasi publik yang lebih tinggi terhadap seni, sekaligus membebaskan masyarakat luas yang terisolasi sebatas seni di galeri atau ruang-ruang seni konvensional. Secara kreatif misalnya, mereka menggarap proyek komik dinding pada Juli, 1999 bertajuk “Public Art Exhibition”, bertema “Sakit Berlanjut”.
Moki dan seturut seniman muda lainnya, tentu tak bisa dilepaskan dari dinamika seni-seni ruang publik yang marak sejalan reformasi tersebut. Tidak hanya tumbuh mewarnai Yogyakarta dan kota-kota urban Indonesia lainnya, terjalin pula kerjasama bersifat internasional yang memungkinkan para seniman mural ini hadir di dalam event-event internasional seperti di Eropa dan Amerika, serta kota-kota seni terkemuka di Asia.
Bahkan, serangkaian World Cultural Forum bulan Oktober 2016 di Bali, yang dihadiri oleh delegasi budaya sedunia, diselenggarakan Pameran Mural kerjasama Galeri Nasional dan Bentara Budaya Bali, melibatkan komunitas street art, semisal: Komunitas Pojok, Komunitas Djamur, Komunitas Slinat, dan Batubelah Community, merujuk tajuk “Budaya untuk Bumi yang Terbuka, Toleran, dan Beragam”.
Pramoedya Ananta Toer
Sosok manusia Jawa di dinding kaca itu terasa lebih sugestif dan imajinatif dengan hadirnya sejumlah buku tentang Indonesia yang dipresentasikan tersendiri di dalam gedung tertaut Festival Europalia ini.
Sebagai perpustakaan umum, mereka memiliki 120 lebih koleksi buku dan CD Musik bertema Indonesia, yang penciptanya baik dari Indonesia maupun luar negeri.
Terdapat juga semacam banner khusus yang mengutip kata-kata Pramoedya Ananta Toer, novelis nominasi Nobel, dalam bahasa Inggris, “Even though no one admits it, writers are leaders in their communities.”
Bersanding di ruang itu, karya monumental Saidjah dan Adinda (Multatuli), berikut berbagai terbitan Balai Pustaka dalam versi aneka bahasa, novel-novel Marion Bloem yang versi Indonesianya diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), juga karya terkini penulis Indonesia dalam terjemahan bahasa asing, semisal Leila Chudori, Eka Kurniawan, dan Ayu Utami.
Tak ketinggalan buku tentang seni rupa Bali dan Indonesia, roman, dan catatan antropologis yang bertema Nusantara dalam beragam bahasa oleh penulis luar.
Pilihan menghadirkan seniman-seniman ruang publik seperti Moki dan kawan-kawan, setidaknya terbukti memberikan gambaran hadirnya karya-karya seni kontemporer yang kontekstual dengan problematik sosial kultural masyarakat Indonesia kini.
Memang ruang publik kini telah menjelma arena berbagai kepentingan, ditandai billboard-billboard iklan, gambar-gambar partai politik, berikut sosok-sosok calon Bupati, Gubernur, dan Wakil Rakyat; yang secara langsung menghegemoni dan mempolusi ruang publik. Karya-karya street art adalah sebentuk perlawanan atas fenomena itu, berupaya menjadikan ruang publik kembali sebagai oase kebersamaan bagi masyarakat.
Putu Sutawijaya (Foto: Dok. Pribadi) |
“Ya, seni ruang publik, termasuk juga street art dengan beragam media serta kreativitasnya, sedikit banyak memang mencerminkan dinamika masyarakat kita kini, kontekstual dengan wajah kota yang semakin urban. Moki punya kenakalan-kenakalan kreatif tersendiri menyikapi kekontemporeran kita yang penuh ironi dan paradoks itu,” ujar perupa Putu Sutawijaya, founder Sangkring Art Space, Ngestiharjo, Yogyakarta.
Begitulah, sesampai di tikungan, menuju pusat penyelenggaraan Europalia, di Centre For Fine Arts Bozar, Brussels, sosok manusia Jawa itu terus membayangi: berdiam hening di dinding kaca perpustakaan Muntpunt. Sebuah renungan dari Moki untuk kita, Indonesia.
Berbagi Artikel